Thursday, 30 April 2020

MENUJU POLRI YANG DEMOKRATIS DAN PROFESIONAL

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Sejak awal kelahirannya pada 1 Juli 1946, hingga terbitnya Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), wajah, watak serta kultur Polri mulai berubah menjadi sosok polisi sipil yang ideal. Dalam setiap upaya penegakan supremasi hukum, penguatan HAM, dan pelayanan publik, pengawalan demokrasi, Polri acapkali berada pada posisi yang rumit. Posisi yang kadangkala membuat hubungannya dengan sebagian masyarakat terganggu, dan beresiko konflik. Sebagian masyarakat memang masih terjebak pada pemahaman masa silam yang senantiasa melihat Polri sebagai alat kekuasaan dan alat kepentingan penguasa.

Perubahan paradigma Polri yang sungguh-sungguh sebagai ’social control institution’ dan sebagai ’social problem solver’ belum bisa dirasakan sepenuhnya oleh sebagian masyarakat. Kerja keras Polri dalam mengubah diri dianggap masih belum memenuhi harapan mereka. Dari sisi pelaksanaan penegakan hukum, sebenarnya Polri cenderung sudah mengurangi strategi manipulatif (menguasai orang lain) dan kompetitif (melawan orang lain). Polri mulai bersifat integratif (bersama orang lain) dalam mengupayakan terwujudnya keamanan insani dan publik serta keamanan dan pertahanan negara.

Wednesday, 29 April 2020

REFORMULASI STRATEGI KPK

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Korupsi merupakan kejahatan supermala per se (sangat jahat dan tercela) yang bersifat evolutionary. Saat ini ragam korupsi terus bertambah dan canggih modus operandinya meninggalkan jauh norma positif (ius constitutum) yang memberantasnya. Korupsi terjadi tidak hanya pada tataran aplikasi dari sebuah sistem, tapi juga mulai tahap pembuatan aturan perundang-undangannya (legal and instrumental back up), kejahatan tersebut sudah dilakukan.

Setelah berkiprah selama hampir 16 tahun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang telah berbuat banyak dalam memberantas korupsi di negeri ini. Namun, kejahatan yang dikutuk masyarakat (people condemnation) ini tak kunjung surut, justru terus berkembang sistemis dan struktural bahkan sudah banalitas. Untuk itulah, guna memaksimalkan segera terwujudnya Indonesia bebas korupsi, KPK perlu mereformulasi strateginya dengan tidak hanya bertumpu pada penggunaan pendekatan represif klasik. Kebijakan penyertaan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) secara maksimal dan upaya pencegahan, selayaknya diaplikasikan sebagai strategi utama KPK 4 tahun ke depan.  

Penyertaan pasal TPPU
Kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur penting dalam politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor). Sayangnya, ketidaksamaan penafsiran definisi keuangan negara justru menimbulkan persoalan hukum. Perbedaan penafsiran tersebut diakibatkan adanya disharmonisasi di antara norma-norma positif yang berlaku dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait makna sesungguhnya dari keuangan negara.

Tuesday, 28 April 2020

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SEBAGAI PENJAGA KONSITUSI DAN IDEOLOGI NEGARA

oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Abstract
The Constitutional Court (MK) is one of the judicial power institutions in the Indonesian constitutional system whose constitutional authority is recognized after the amendment to the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945). The MK’s authority as regulated in Article 24C of the 1945 Amendment, conducts a judicial review of the Constitution (constitutional review), both covering material and formal aspects in the spirit of protecting public interests from arbitrary power and misuse of power from the legislators. The functions of MK to build a democratic rule of law state can be carried out in four functions, namely as the interpreter of the constitution, the guardian of human rights and the constitution and as the enforcer of democracy.
The possibility of authority’s conflicts in carrying out the mandate of the law in the state institutions is a problem that may occur. Due to the above condition, the MK has the constitutional authority to resolve conflicts of interest between state institutions whose solutions are based on the legal process and not on the political one. Because of there are rapid and unpredictable changes due to the internal conditions and the global influences, besides being the guardian of the constitution, the MK is also expected to stand firmly as the guardian of the state’s ideology (Pancasila). The ability of the MK to fully understand the importance of Pancasila towards UUD 1945 is an obligation to maintain Pancasila as the state ideology and legal ideals (rechtsidée).
Keywords: constitutional review, state ideology, constitutional court.

PENGGUNAAN SARANA NON-PENAL UNTUK MENANGGULANGI KASUS PEMBUNUHAN SEBAGAI AKIBAT DARI PRAKTIK BUDAYA CAROK PADA MASYARAKAT MADURA

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 
PENDAHULUAN
Pada kehidupan masyarakat suku Madura persoalan yang mengkaitkan harga diri dengan carok menjadi keunikan entitas budaya yang tidak dimiliki oleh suku-suku lain di Indonesia. Carok adalah sebuah simbol ‘keberadaan’ laki-laki, sebuah perkelahian antar pria yang biasanya dilakukan satu lawan satu yang kebanyakan disebabkan oleh adanya perselisihan. Menurut Latief Wiyata, carok adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan menggunakan senjata tajam pada umumnya celurit yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri, terutama berkaitan dengan masalah kehormatan diri, istri dan agama sehingga membuat malo (malu).
Persoalan martabat (harga diri) dan perasaan malo merupakan faktor pemicu utama bagi orang Madura dalam melakukan carok, karena menanggung beban malu merupakan pantangan yang harus disingkirkan. Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri dengan jalan kekerasan fisik. Dalam hal ini dikenal ungkapan “ango’an poteya tolang etembeng poteya mata”, yang artinya lebih baik mati dari pada hidup harus menanggung malu.

Doc: https://drive.google.com/file/d/1-Nlhqo-A6yWjmGrb2fNUw5AMGIOP_Ajg/view?usp=sharing

HARMONISASI BATAS USIA PERNIKAHAN DENGAN BATAS USIA DEWASA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang terus terjadi di kehidupan umat manusia. Karena perkawinan merupakan persitiwa yang rutin dalam masyarakat, maka perlu adanya aturan hukum demi tetap terjaganya ketertiban. Di Indonesia, masalah perkawinan diatur dengan dua aturan hukum yang ditujukan pada subjek hukum yang berbeda. Aturan hukum yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW), yang ditujukan pada seluruh warga negara Indonesia kecuali yang beragama Islam, sedangkan yang kedua adalah Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku khusus bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian di sini untuk memperlihatkan segi kesakralan dari perkawinan serta menampakkannya pada masyarakat luas. Adapun sebutan “suci” untuk pernyataan unsur nilai keagamaan dari suatu perkawinan. Subekti menyatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Kemudian pengertian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang dicantumkan pada Pasal 1 adalah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Doc: https://drive.google.com/file/d/1wARN--affYqt-5dQsaU7ywSykxH7Fu3_/view?usp=sharing

KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN TINDAK PIDANA CYBERSEX MELALUI PENGGUNAAN SARANA NON PENAL DI INDONESIA

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

PENDAHULUAN
Internet yang multifungsi merupakan hasil dari perkembangan telematika yakni teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer yang begitu pesat. Perkembangan ini membawa ke revolusi keempat dalam sejarah peradaban manusia yang bercirikan dengan cara berfikir tanpa batas (borderless way of thinking).
Penerapan teknologi internet saat ini telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat dan tentunya telah menyebabkan perubahan dalam cara berpikir dan bertindak mereka. Internet telah mampu membentuk masyarakat dunia baru yang tidak lagi dihalangi lagi oleh batas-batas teritorial suatu negara. Sebuah dunia yang tanpa batas (borderless word) yang lengkap dengan realitas virtualnya (virtual reality).

KPK DALAM PUSARAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

ABSTRAK

Korupsi telah menjadi salah satu masalah besar dan serius yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya, namun semua asa tersebut sampai saat ini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sebagai gejala sosial-budaya yang sudah mewabah, pemberantasan kejahatan korupsi memang sangatlah sulit untuk dapat berhasil secara maksimal bila hanya mengedepankan tindakan represif saja. Hal tersebut dikarenakan persoalan korupsi sudah menjadi persoalan sosial-budaya dan tidak lagi sekedar persoalan hukum atau penegakan hukum. Di samping itu, bahwa penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana tidak dapat diharapkan bisa menuntaskan persoalan korupsi secara efektif terutama bila kondisinya sudah sangat banalitas.
KPK memang telah berkontribusi yang signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun dengan hanya mengedepankan strategi penggunakan pendekatan juridis normatif saja, secara rasio cost-benefit dan cost-efficiency diperkirakan langkah tersebut kurang bisa membuahkan hasil yang maksimal. Secara filosofis maksud dari dibentuknya KPK dengan perangkat legal substance-nya adalah demi penyelamatan dan pengembalian keuangan negara. Oleh karenanya, disamping melanjutkan langkah represif, upaya akseleratif yang berfokus pada pencegahan kejahatan tindak pidana korupsi semestinya dijadikan sebagai isu strategis dalam peran pengabdian KPK ke depannya.

Monday, 27 April 2020

‘’QUO VADIS’’ LEMBAGA KPK PERIODE 2020-2024

Oleh : Wahju Prijo Djatmiko

Secara filosofis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk demi mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Korupsi merupakan kejahatan super mala per se (sangat jahat dan tercela) yang bersifat evolutionary seiring dengan laju kemajuan peradaban. Ragam korupsi semakin bertambah dan  canggih modus operandi-nya meninggalkan jauh norma positif yang ada (ius constitutum). Kini, korupsi terjadi tidak hanya pada tataran aplikasi  dari sebuah sistem namun mulai tahap pembuatan aturan perundang-undangannya (legal and instrumental back up),  kejahatan tersebut sudah dilakukan.

Setelah berkiprah selama hampir 16 tahun, KPK memang telah berbuat banyak dalam memberantas korupsi di negeri ini. Namun kejahatan yang dikutuk oleh masyarakat (people condemnation) ini tak kunjung surut  tapi terus berkembang sistemik dan struktural bahkan sudah banalitas. Untuk itulah, guna memaksimalkan segera terwujudnya Indonesia bebas korupsi, KPK diharapkan tidak hanya bertumpu pada penggunaan pendekatan represif klasik saja. Kebijakan pencegahan dan penyertaan UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU selayaknya diaplikasikan dalam strategi utama KPK 4 tahun ke depan.  

AMICUS CURIAE

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Adalah Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Th 2009 yang memberi ruang diterimanya konsep ‘amicus curiae’. Konsep ini ibarat pedang yang tajam di dua sisinya, bisa menguntungkan Ahok, tapi juga bisa merugikannya. Apa yang terjadi bila hanya unsur ‘actus reus’ (physical element) saja yang terbukti sedang ‘mens rea’ (mental element) nya tidak, apakah publik yang awam hukum bisa menerima? Bagaimanakah bila ‘amicus curiae’ yg memilki ‘legal back up’ tersebut justru berasal dari kesadaran hakim yang lebih condong pada konsep ‘salus populi suprema lex’? Di sisi lain, para penstudi hukum pidana risau pada ‘legal culture’ di Indonesia, dimana ‘theoretical guessing’ Marc Galanter, seorang mahaguru ilmu hukum di University of New York, sering menjadi kenyataan, yakni ‘the haves come out ahead.’ Mudah-mudahan bangsaku menjadi arif dan tetap menjaga kesatuan dan persatuan dalam kebhinekaan serta tidak tercerai berai akibat masalah Ahok. Aamiin.

MENYOAL BATAS USIA PERKAWINAN

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Di Indonesia, masalah perkawinan diatur dengan dua aturan yang ditujukan pada subjek hukum berbeda. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW),  ditujukan seluruh warga negara Indonesia (WNI) kecuali yang beragama Islam dan Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan  bagi WNI yang beragama Islam. 

Akibat maraknya pernikahan dini, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan Yayasan Pemantauan Hak Anak (YPHA) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun ketentuan yang dipermasalahkan adalah Pasal 7 ayat (1) dan (2)  UU No. 1 Tahun 1974 mengenai batas usia pernikahan. Pemohon mengusulkan agar batas minimal usia pernikahan ditingkatkan menjadi 18 tahun yang disesuaikan juga dengan UU No. 35 Tahun 2014 Tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Mahkamah Konstitusi (MK)  dalam amar putusan No. 30 dan 74/PUU-XII/2014 menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

Berdasarkan amar putusan UU Perlindungan Anak diatas menikahkan anak perempuan dibawah usia 18 tahun jelas bertentangan UU a quo. Faktanya  tidak ada ketentuan yang mengatur batas usia dewasa dalam UU Nomor 1 Tahun 1974  ini. Dengan keadaan di atas, maka batas usia pernikahan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dianggap sebagai penyebab terjadinya pernikahan usia dini di Indonesia, sehingga harus dinaikkan batasannya menjadi 18 tahun yang sama dengan UU No. 35 Tahun 2014. 

WAJAH BOPENG KEADILAN PROSEDURAL

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Bagi hakim agung yang menjatuhkan vonis kasasi untuk Baiq Nuril (BN) dan Syafruddin Arsyad Tumenggung (AST) tugas mereka telah usai. Namun masyarakat yang mempersoalkan putusannya, protes dan kekecewaan mereka baru mulai. Publik menilai keadilan yang diberikan para ‘wakil’ Tuhan atas tugasnya sebagai pelaksana hukum dan pencipta hukum  jauh dari harapan.

Memberikan putusan adil merupakan persoalan paling berat bagi hakim dalam tugas mulianya. Ada proses perenungan, pemikiran dan analisis mendalam yang mesti dilalui. Mereka tidak diberi hak mengubah undang-undang (UU) tapi boleh menyimpang darinya dalam menjatuhkan amar putusan. Pergumulan konflik antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum selalu berkecamuk dalam sanubarinya.

Sayangnya, putusan seadil-adilnya menurut hakim, boleh jadi ketidakadilan yang luar biasa bagi pencari keadilan dan masyrakat (summum ius summa iniuria). Keadilan adalah ukuran yang dipakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek diluar diri kita yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan.

LAW MUST GENERATE SOCIAL ORDER AND HARMONY

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Dengan mengesampingkan membela paslon 02, langkah sekelompok masyarakat melaporkan PS ke aparat hukum adalah kurang tepat disamping hal tersebut sulit dibuktikan. Harus ada dua syarat bahwa peristiwa hukum itu bisa dipidanakan yakni 1. Merupakan ACTUS REUS dan 2. Ada MENSREA nya. Untuk mengukur/ membuktikan yang kedua itu yg susah. Selanjutnya, dalam situasi seperti ini saya kira sangat tidak arif untuk memidanakan kontestan pilpres hanya karena perbuatan "victory claim". Saya yakin Polri kita sudah sangat PROMOTER dan bukan merupakan alat kekuasan untuk sekelompok orang. Ia alat negara yg mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat. Hukum itu bukan ‘alat gebuk’ tapi sebuah institusi sosial untuk menciptakan keteraturan dan  harmoni sosial (social order and harmony). Hukum digunakan bukan hanya demi kepastiannya, tapi kepentingan demi kemaslahatan sosialnya jauh lebih diutamakan daripada hukum itu sendiri (salus populi suprema lex). Sebaiknya semua bisa menahan diri, rukun dan berfikir positif menunggu hasil KPU.  Langkah Amd dkk sah-sah saja tapi kurang bijaksana untuk situasi saat ini.

SUPREMACY OF MORAL JUSTICE

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

"Indonesia seharusnya lebih mengunggulkan asas 'supremacy of moral justice' daripada asas 'supremacy of law'. Oleh karena itu penerapan asas legalitas pada KUHP dalam konteks ke-Indonesia-an jangan diartikan semata-mata demi kepastian/kebenaran/keadilan formal undang-undang tapi harus lebih menukik ke dalam yakni pada kepastian/kebenaran/keadilan nilai-nilai substantif nya. Hukum harus memberikan kemanfaatan kesejahteraan pada masyarakat.  Law is not for the glorius of the law but law is for the greatnes of human civilization. Oleh karenanya para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat) sudah selayaknya berkenan untuk melihat "jendela" yang lain. Itulah "jendela" hukum progresif.

BUDAYA HUKUM

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Budaya Hukum (BH) dan amar UU No 23 Th 2014 Pasal 83. BH kita sebenarnya adalah ekspresi dari kebudayaan kita. Ia tidak hanya merupakan kondisi menerima atau menolak atas ketentuan hukum yang berlaku tapi juga upaya untuk mewujudkan suatu tata nilai kepada masyarakat. BH itu akan tercermin pada perilaku masyarakat, serta juga akan teramati dalam pola kebijakan dan perilaku pejabat. BH itu adalah kesadaran hukum (recht bewutzjin) yang sebenarnya sudah lama dicurigai sebagai penghambat pembangunan hukum (PH) di Negara kita. Bila PH ini tidak sukses maka hukum akan kurang maksimal dalam mengemban fungsi mulianya sebagai kendali sosial. Kondisi inilah yang berpotensi melahirkan banyaknya demo, 'civil disobidient', mogok dan protes-protes di media sosial dan sebagainya. Bila situasi seperti ini terus terjadi maka masalah ketertiban, ketentraman dan stabilitas dinamika sosial akan terganggu. Semestinya barang siapa (tidak pandang bulu) i.e. kepala daerah yang 'kena' ketentuan pasal 83, UU No 23 Tahun 2014, maka amar norma dalam pasal itu wajib dilaksanakan. Adalah kewajiban bagi 'sanction making institution' untuk segera melaksanakan amar pasal tersebut. Sedang bagi 'law making institution' harus menekan secara politis agar norma tersebut ditegakkan. Bila tidak, maka berhasilnya PH di Indonesia hanya akan bersifat thetoris dan utopis belaka.

WORLD VIEW

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 
Perbedaan pemahaman tentang hukum positif dan 'basic belief'. Setelah Kapolri menyatakan bahwa fatwa MUI bukan hukum positif, maka para cendekia ilmu hukum terkemuka Indonesia (Prof. Suteki, Prof. Barda Nawawi, Prof Yusril, Prof. Mahfud MD) memberikan 'comment' yang bermacam-macam. Ada yang senada tapi ada yang beda. Mengapa? Penyebabnya adalah 'basic belief' atau 'world view' atau para mahasiswa S3 biasa menyebut dengan 'paradigma' para pakar itu bisa sama, bisa pula berbeda. Paradigma inilah biangkeroknya. Paradigma merupakan pandangan yang sangat mendasar dari ilmuwan sebagai konstruksi mereka dalam berulah nalar. Paradigma inilah yang 'menggendong' serangkaian teori-teori yang pastinya sejalan dengan paradigmanya. Dari sinilah netizen bisa menebak bahwa Kapolri dan Prof Mahfud MD berparadigma "legal positivism" atau biasa dikenal dengan positivistik.  Sedangkan Prof Barda, Prof Suteki serta Prof Yusril dan segudang alumnus dan mahasiswa S3 PDIH Undip (termasuk saya) berparadigma 'legal constructivism' atau mungkin 'critical legal'. Jadi perbedaan itu wajar dan bisa dipahami sebagai model atau pola yang bisa diterima oleh ilmuwan.  Namun karena 'knowledge is transient' dan hukum itu bukan seperti 'mechanical machines' dimana 'input' di proses secara 'baku' jadi 'output' tapi hukum itu adalah 'organisme' yang hidup yg menjadi faset dari peradaban manusia dan tak terpisahkan dari perkembangan peradaban manusia, saya berpendapat bahwa paradigma positivistik akan tergusur oleh kondisi dan kodratnya sendiri. Itulah hidup dan kehidupan dan itulah 'life cycle' dari sebuah paradigma yang awalnya dulu dirintis oleh opa Thomas Kuhn. Semoga opa Kuhn ini tenang di alamnya dan tidak terusik oleh ulah kita. Hehehe.

BEWIJSVOERING

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

'Bewijsvoering' adalah penguraian dengan cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan azas 'due process of law' dalam sistem peradilan pidananya. Azas ini senantiasa, menjunjung tinggi HAM sehingga para pihak yang mengemukakan 'unlawful legal evidence' pasti akan dinyatakan bersalah oleh majelis karena perbuatan tersebut dinilai telah melanggar HAM. Adapun masalah HAM ini dijamin dengan tegas oleh Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian pengungkapan penyadapan pembicaraan adalah perbuatan yang jelas-jelas melanggar HAM dan tidak sejalan dengan asas 'due process of law' yang kita anut. 'Bewijsvoering' itu menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formalitas tentang halal dan haramnya bagaimana seseorang memperoleh fakta dan kebenaran. Apapun faktanya kalau hal tersebut diperoleh secara 'unlawful', majelis bisa mengesampingkan semua dalil dan kebenaran yang diajukan. Penyadapan komunikasi antara pribadi dengan pribadi lain sebenarnya merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana amanah pada pasal 40 UU Telekomunikasi. Bagi yang melanggar maka diancam penjara maksimal 15 tahun (pasal 56) dan juga melawan pasal 31 UU ITE dengan ancaman pidana selama 10 tahun (pasal 47). Baru dalam 'bijzondere delicten' (delik-delik khusus) yang diatur di luar KUH Pidana penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan. Pertimbangannya adalah bahwa kejahatan tersebut dilakukan secara terorganisir yang sulit pembuktiannya. Beberapa pembenaran penyadapan yang dibenarkan oleh undang-undang adalah:  (1) UU Psikotropika dan UU Narkotika membolehkan penyidik menyadap telepon namun seizin Kapolri (dalam30 hari). (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap  (atas izin ketua pengadilan negeri) dalam satu tahun. (3) UU KPK, penyidik boleh melakukan penyadapan tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi oleh waktu. Diluar itu melakukan penyadapan adalah perbuatan yang melanggar HAM dan jelas-jelas telah melawan hukum. Oleh karena itu kasus penyadapan yang digunakan sebagai 'alat' untuk memenangkan suatu perkara di pengadilan merupakan 'unlawful legal evidence' yang nyata-nyata telah melanggar HAM. Majelis Hakim semestinya mempertimbangkan masalah 'bewijsvoering' tersebut sebagai hal yang serius.

ULTRA PETITA SANG PENGADIL

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Bahwa putusan hakim ultra petita dalam koridor hukum pidana itu dapat dibenarkan dengan pertimbangan bahwa dalam hukum pidana terdapat asas hakim bersifat aktif dan menggali nilai-nilai keadilan yang ada di dalam masyarakat ( Pasal 24 UUD NRI 1945 dan UU No 48 Th 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Sebagai contoh dalam kasus pembunuhan Alda Risma misalnya, PN Jaktim mengeluarkan putusan melebihi apa yang dituntut JPU. JPU menuntut Ferry SP dengan Pasal 338 KUHP,  Majelis hakim dalam putusannya justru menggunakan Pasal 340 KUHP. Hal ini menunjukkan kalo Majelis TIDAK sependapat dengan alasan yuridis JPU dan juga alasan yuridis pengacara terdakwa.  JPU menuntut Ferry 14 tahun penjara, sedangkan majelis memvonis yang bersangkutan 15 tahun penjara. Untuk kasus Ahok, ultra petita sangat mugkin terjadi. Mudah-mudahan para pengadil yang merupakan "wakil" dari Tuhan Yang Maha Adil sadar diri bahwa jutaan orang di jalan-jalan ketika demo dan puluhan juta yang lain yang melihat TV di rumah sangat berharap bahwa para hakim dengan rasa jujur akan mengadili terdakwa dengan seadil-adilnya dan bebas dari pengaruh kekuasaan siapa saja. Aamiin.

"BRING JUSTICE TO PEOPLE"

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Advokat adalah profesi yang 'officium nobile'. Oleh karenanya Advokat senantiasa HARUS mau mengangkat nilai nilai humanitas, memperjuangkan orang untuk mendapatkan hak hukumnya,  mewujudkan keadilan di tengah khalayak,  menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, dan mau menjadi pelayan masyarakat yang baik. Dalam menjalankan profesinya di dalam maupun di luar persidangan,  advokat tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata (Putusan MK,  No. 26/PUU-XI/2013 yang merupakan hasil judicial review atas Pasal 16 UU No.  18 Th. 2003 tentang Advokat).
So, Let justice be done and always be an honorable advocate.

SANG PENGADIL BISMAR SIREGAR

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Bagi Bismar, hukum itu menyangkut etika, pantas dan tidak pantas, patut dan tidak patut dan bukan sekedar boleh atau tidak boleh. Bismar senantiasa dialog dengan dirinya sendiri sebelum memutus suatu perkara. Kebiasaan merenungkan kaitan antara pelaku, korban, masyarakat dan negara selalu menyibukkan pikirannya sebelum ia menjatuhkan si palu sakti. Bila kita simak secara seksama terhadap setiap amar putusannya, Bismar telah memberikan inspirasi tentang perlunya perenungan terlebih dahulu antara hukum dan keadilan sebelum seorang hakim itu memutus suatu perkara. Dengan kebiasaan tersebut, seorang hakim telah terbebaskan dirinya dari hanya sekedar sebagai  mulut UU yang bekerja secara mekanik. Menurut Bismar, hakim itu harus menemukan hukum yang bersifat progresif, lebih mengutamakan keadilan dan kemanfaatan daripada sekedar meraih kepastian hukum belaka. Baginya, hakim itu wajib memperhatikan segala aspek hukum dan NON HUKUM, sehingga putusannya mendekati kearah sifat adil yang mampu menyelesaikan konflik, serta menentramkan kehidupan masyarakat luas. Hakim Agung Bismar memang telah menghadap Sang Maha Guru Ilmu Hukum Yang Maha Adil, namun ketauladanan serta pemikirannya tentu masih hidup dalam alam pikiran kita. Mudah-mudahan ketauladanan dan pemikiran itu juga bersemi subur pada nalar dan sanubari para pengadil kasus perkara Ahok.

HAKIM DAN KEADILAN

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Bagi Dwiarso B Santiarto dan para anggota majelis menentukan hukuman yang seadil-adilnya bagi Ahok telah selesai. Namun bagi Ahok dan masyarakat yang mempersoalkan vonis hakim persoalan tersebut tentulah belum usai. Mereka mempersoalkan keadilan yang diberikan oleh hakim atas  tugasnya sebagai pelaksana hukum maupun sebagai pencipta hukum. Keadilan memang selalu dipersepsikan berbeda. Keadilan di satu sisi bisa merupakan ketidakadilan di sisi lainnya. Summum  ius summa iniuria (keadilan yang tertinggi di satu pihak adalah ketidakadilan yang luar biasa di pihak lain). Sebenarnya keadilan adalah ukuran yang dipakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek di luar diri kita yang ukuran tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep kita tentang manusia dan kemanusiaan. Bagi hakim memberikan putusan yang adil adalah persoalan yang paling berat baginya. Ada proses perenungan, pemikiran dan analisis yang panjang yg telah mereka lalui dalam memberikan putusan yang adil tersebut. Para hakim ini tidak diberi hak mengubah UU tapi mereka BOLEH menyimpang dari UU dalam menjatuhkan putusannya dengan berdasar pada perkembangan yang mengalir pada masyarakat (berhukum progresif). Pergumulan konflik antara  kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan (doelmatgheid) selalu berkecamuk dalam pikirannya, mana yang harus diutamakan. Dalam situasi ini sangat diperlukan keberanian serta sikap yang tegas demi menciptakan hukum yang adil. Ini memang hakim dan keadilan yang dikreasi oleh manusia yang tentunya jauh dari sifat sempurna. Karena hanyalah Allah lah Hakim Yang Maha Adil yang bisa memberi keadilan yang seadil-adilnya.

IN NAAM DER GERECHTIGHEID

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Adanya ide untuk mengganti irah-irah "Demi Keadilan Tuhan YME " menjadi "Demi Pancasila" adalah betul-betul ide yg NGGLADRAH dan menjurus ke sikap anti Tuhan. Frasa demi keadilan itu adalah frasa SUMPAH, yakni sumpah para hakim sebagai 'wakil' Tuhan Yang Maha Mengadili dan sekaligus mereka bertindak, berbuat serta bersumpah atas nama Tuhan. Irah- irah inilah yg merupakan manifestasi dari konsep 'religious judicative' sebagai turunan dari konsep 'religious nation state'. Inilah yang membedakan kekhasan NKRI dengan negara lain. Dengan frasa Demi Keadilan Tuhan YME berarti bahwa putusan hakim tersebut tidak dipertanggungjawabkan kepada segala sesuatu kecuali TUHAN. Di tangan para hakim inilah kita di dunia ini cari keadilan. Irah-irah yg ada ini sangat sakral dan bermakna mendalam yang hal tersebut sesuai dengan amanah Pasal 2 ayat 1, UU RI No 48 th 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang sejalan dengan Pasal 197, ayat 1, sub a UU RI No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Irah-irah tersebut lah yang menyadarkan para hakim untuk memutus perkara dengan seadil-adilnya karena perbuatan mereka telah dilandasi oleh SUMPAH kepada Tuhan. Bagi bangsa yang beragama, tentunya sumpah tersebut bukan hal yang sepele tapi berisiko luar biasa bagi para hakim bila mereka tidak menepati sumpahnya. Pertanggungan jawab hakim sebagai 'sang pengadil di dunia' tentu sangat berat di hadapan Tuhan nantinya. Kalau frasa itu hendak diganti, mau dipertanggungjawabkan kepada siapa keadilan ini.

KPK MUNGKIN AKAN ABAIKAN HAK ANGKET DPR

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

KPK mungkin akan abaikan Hak Angket DPR. Adalah Montesquieu dengan 'primbon' nya yang masih diikuti dan diyakini oleh kebanyakan orang di Indonesia  yakni ''L'Espirit des Lois" (1784) yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga organ negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Padahal, tiga abad kemudian Prof Ackerman dari Yale Law School menegaskan bahwa thesa Montesquieu tersebut sudah 'old fashion". Amerika Serikat saja kini telah membagi kekuasaan negara menjadi lebih dari lima. Ada 'independent institutions' yang sengaja diciptakan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan jaman. Disamping itu lembaga ini juga diabdikan untuk menghindari absolutisme yang cenderung bersifat korup (power tends to corrupt). Pendapat senada dilontarkan oleh Prof Jimly bahwa di Indonesia thesa Montesquieu juga sudah tidak relevan semestinya. Self Regulatory Agency yang beliau sebut sebagai "Quasi non- governmental organizations" ini dibentuk oleh UU untuk (salah satunya) membatasi absolutisme tiga kekuasaan negara tersebut. Keberadaan "makhluk baru" ini memang masih membingungkan.  Posisinya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pun masih belum jelas, mulai dari nomenklaturnya dsb. KPK dapat dipastikan tergolong jenis mahluk ini.  Berpijak pada konstitusi 1945 dan Pasal 79 Ayat (3) UU MD3, bahwa hak angket DPR itu untuk menyelidiki "pelaksanaan suatu UU  dan/atau policy dari executive agency". Padahal "jenis kelamin" KPK itu 'independent agency' dan bukan 'executive agency'  yang secara gamblang  sudah dijelaskan dalam UU KPK. Jadi apakah hak angket itu masih 'applicable' dan 'reliable' buat KPK? Ya memang 'knowledge is transient'. Thesa akan berbenturan dengan anti thesa-nya. Untuk itu belajar harus menjadi kebutuhan bagi siapa saja terutama bagi para pengambil kebijakan strategis di negeri ini. Ilmu akan  terus mengalir dan berkembang. Dia dibutuhkan untuk memperindah dan sebagai aksesoris dari 'modern human civilization'.

EIGENRICHTING

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Akhir-akhir ini budaya main hakim sendiri mengemuka di seluruh pelosok tanah air. Hal tersebut tentunya menjadi fenomena budaya hukum yang sangat memiriskan hati. Semua pelaku kriminal yang tertangkap massa dihakimi dengan cara yang sadis, dianiaya bahkan dibakar dengan ramai-ramai sekalipun dia hanya mencuri seekor ayam saja. Bahkan di suatu desa di Jawa Timur telah ada kesepakatan sosial lokal (gewoonterecht) bagi pencuri sapi yang tertangkap tiada lagi hukuman  yang adil baginya kecuali dibakar sampai 'meng-arang' dengan ban terbakar yang dikalungkan di lehernya. Ngeri! Beberapa pertanyaan yang mendasar tentu menyeruak di pikiran kita: (1) Mengapa masyarakat kita berbudaya hukum seperti itu? (2) Mengapa hukum kita (ius constitutum) sebagai sarana pengendali sosial tidak mampu mencegah vigilante justice ini? (3) Bagaimana kepercayaan masyarakat pada Sistem Peradilan Pidana kita kok menjadi tipis? dan lain sebagainya. Padahal pada tataran 'modern human civilization' norma hukum dibutuhkan untuk mengatur ketertiban dan kepatuhan masyarakat agar harmoni dan keteraturan sosial itu tercapai. Bila ini dibiarkan maka terkikislah ke-dahsyat-an hukum sebagai institusi sosial yang mengatur kehidupan ini. Dalam media ini kami mohon para cerdik cendekia, tak terlupakan tentunya guruku Prof Suteki, untuk memberikan pencerahan pikir sehingga muncul solusi-solusi cerdas guna menjawab fenomena sosial tersebut. Saya khawatir 'sesinglon' yang pernah dilontarkan oleh almarhum Prof Satjipto bahwa " KANG ONO KUI DUDU" ini berlaku. Berarti ada fakta apa dibalik fenomena tersebut.

BIFURKASI

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Istilah bifurkasi ini seakan-akan mewakili 'kerisauan ilmiah' Profesor Suteki dalam melihat fenomena tata cara berhukum dewasa ini. Pada dasarnya, teori bifurkasi pertama-tama dilontarkan oleh Profesor Ilya Romanovich Prigogine, seorang ahli kimia fisik pemenang nobel berkebangsaan Belgia. Secara etimologis bifurkasi artinya adalah 'percabangan'. Menurut Prigogine bifurkasi dapat membawa sistem meruntuhkan dirinya menuju chaos. Bifurkasi biasanya didahului oleh adanya ketidakteraturan yang dipaksakan dalam keteraturan. Bila istilah bifurkasi ini kita impor ke ranah konsep negara hukum (ilmu hukum) maka artinya ada praktek ketidakteraturan yang dipaksakan dalam keteraturan.  Dalam konsep negara hukum, hukum adalah panglimanya (supremacy of law). Dengan demikian  pemimpin negara yang tertinggi bukanlah manusia tetapi konstitusi. Adanya konsistensi dan komitmen untuk menjunjung tinggi asas legalitas (due process of law) dalam sistem negara hukum  adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar. Sebagai kosekuensi logisnya segala tindakan negara/ pemerintah wajib didasarkan atas 'rules' dan 'procedures" yang baku (regels). Mudah-mudahan teori bifurkasi ini hanya berlaku di ranah ilmu kimia fisik saja tapi tidak berlaku dalam ranah ilmu hukum. Semoga apa yang dirisaukan oleh Gurubesar Ilmu Hukum dan Masyarakat UNDIP tersebut tidak menjadi kenyataan. Allohumma aamiin.

PENGUJIAN PERPPU ORMAS NO. 2 TAHUN 2017 DI MK SUDAH KEHILANGAN OBYEKNYA

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Bahwa dengan disahkannya PERPPU Ormas menjadi UU oleh DPR RI maka secara otomatis judicial review atas PERPPU tersebut di MK dihentikan karena obyek yang diuji sudah tidak ada lagi (PERPPU nya sudah menjelma jadi UU). Proses hukum  memang kalah cepat dibanding dengan proses politik. Namun bagi masyarakat yang tidak puas dengan proses politik tersebut masih dapat mengajukan  kembali permohonan judicial review untuk menguji  UU tentang pengesahan PERPPU tersebut (tapi bukan lagi menguji PERPPU nya). Tentunya prosesnya harus mulai dari awal lagi. MK itu bukan arena politik dan semestinya tidak boleh berpolitik. MK adalah "the guardian of the constitution".

BANAL CORRUPTION

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Praktik korupsi di negeri ini telah melahirkan apa yang disebut sebagai banalitas korupsi. Artinya bahwa korupsi sudah dianggap sebagai hal yang sudah umum, lumrah dan wajar. Korupsi dilakukan demi menggerakkan roda kehidupan, melancarkan kepentingan hidup sehari-hari. Sebagian masyarakat kita justru ada yang beranggapan bahwa bila tanpa korupsi, kegiatan transaksi politik dan ekonomi akan terganggu, tersendat dan bahkan bisa menyulitkan. Banalitas korupsi telah menyeret sebagian dari kita ke kubangan dekadensi moral yang serius. Budaya rasa malu untuk melakukan korupsi kian hari kian menjadi menipis. Budaya korup ini akhirnya mengakar kuat dan cenderung diterima sebagai kebiasaan oleh siapa saja. Transaksi–transaksi yang melibatkan otoritas kekuasaan akan berjalan mulus dan cepat bila ada “imbalannya.” Endemi korupsi telah masuk pada seluruh aspek kehidupan dan telah ditolelir sebagai budaya hukum yang semakin seksi saja. Oleh karenanya ayo dukung KPK, Polri dan Kejaksaan untuk memerangi korupsi yang kian marak ini.

TESTIMONIUM DE AUDITU

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Testimonium de auditu adalah keterangan (testimoni) yang diperoleh dari orang lain (katanya) dan bukan yang berasal dari kesaksian sendiri si saksi. Testimonium de auditu tidak bisa digunakan sebagai alat bukti karena keterangan tersebut tidak digolongkan sebagai keterangan saksi yang bisa dijadikan sebagai alat bukti. Dalam Pasal 185 Ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi katakan di sidang pengadilan yang tidak termasuk yang diperoleh dari orang lain. Ocehan Setnov merupakan testimonium de auditu yang belum tentu benar. Dengan demikian terlalu dini untuk menyatakan bahwa PM dan GP terlibat dalam penerimaan uang haram proyek nasional E-KTP.

PASAL KORUPSI DALAM RUU HP

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Beberapa pihak menuding bahwa masuknya sejumlah pasal korupsi dalam RUU HP merupakan kemunduran dalam upaya pemberantasan TPK di Indonesia. Delik-delik korupsi dalam UU No.31/1999 jo. UU No. 20/2001 Tentang PTPK yang direformulasi adalah: Pasal 2 Ayat(1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 13. Dari 30 perbuatan yang dikualifikasi sebagai TPK dalam UU TPK hanya 5 ketentuan saja yang direformulasi. Sayangnya, RUU HP yang telah mereformulasi 5 ketentuan tersebut tidak ada satu pun yang mengatur ketentuan yang menghapuskan keberlakuan pasal-pasal TPK yang ada dalam UU TPK. Kondisi inilah yang kemudian dapat diterjemahkan oleh masyarakat awam akan adanya pasal-pasal ganda, yakni adanya ketentuan yang sama yang diatur dalam UU TPK dan RUU HP.

Sebenarnya secara mutatis mutandis 5 ketentuan yang sama dalam UU TPK tidak lagi berlaku (lex posterior derogat legi priori). Bagi yang sepakat dengan masuknya beberapa pasal TPK kedalam RUU HP menandaskan bahwa UU TPK tidak dicabut tetapi akan dijalankan bersamaan dengan RUU HP. Bagi kelompok yang menolak, berargumentasi bahwa hal tersebut akan menghilangkan kewenangan  penyelidikan, penyidikan dan penuntutan TPK oleh KPK serta masuknya sejumlah ketentuan delik a quo yg akan menguntungkan para koruptor.

Perubahan atau penambahan pasal-pasal a quo ke dalam RUU HP sebenarnya tidak akan mengubah sistem peradilan tipidsus. Secara expressive verbis kewenangan KPK masih tetap utuh termasuk melakukan proses hukum terhadap pasal-pasal yang ada dalam RUU HP (Pasal 729 RUU HP). Dengan demikian adanya anggapan bahwa dimasukkannya sejumlah pasal korupsi dalam RUU HP untuk melemahkan peran KPK adalah anggapan yang susah diterima. Semoga kita segera memiliki KUHP made in Indonesia yang telah kita nanti kelahirannya selama lebih dari 72 tahun

UNDANG-UNDANG YANG TIDAK ‘RESPONSIF’ BERPOTENSI DITOLAK OLEH MASYARAKAT

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.

Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan segera menguji konstitusionalitas atas beberapa Pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena beberapa Pasal dan atau frasa di dalamnya dinilai oleh masyarakat bertentangan dengan UUD 1945. Fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan yang hendak dicapai yakni menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan masyarakat akan terlindungi. Walaupun pembangunan hukum diarahkan pada terwujudnya hukum yang dapat menciptakan tata tertib dalam kehidupan masyarakat, yang berarti hukum dan masyarakat saling berhubungan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak produk hukum (perundang-undangan) yang tidak dapat menciptakan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.

Adanya judicial review terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu khususnya Pasal 348 Ayat (4) dan (9); Pasal 210 Ayat (1); Pasal 350 Ayat (2) dan Pasal 383 Ayat (2) mengindikasikan jika undang-undang tersebut terdapat Pasal dan atau frasa yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanfaatan sosial. Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan keselarasan dan kemanfaatan antara UU sebagai hukum tertulis dengan masyarakat. Di Indonesia sudah sangat jelas bahwa hukum merupakan produk politik, yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling beriteraksi dan saling bersaingan. Oleh karena itu, maka para elite politik harusnya memperhatikan faktor kemasyarakatan sebagai kenyataan sosial. Faktanya muatan - muatan yang terkandung pada produk hukum tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan politik yang ada di dalam lembaga legislatif tersebut.

Produk hukum yang dirumuskan secara demokratis, tentunya dalam proses penyusunannya selalu  melihat kehendak dan aspirasi yang tumbuh di masyarakat sehingga produk hukum yang nantinya  dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati nurani mereka (tipe hukum yg responsif). Apabila produk hukum yang dihasilkan tersebut menjadikan masyarakat resah, melawan dan cenderung tidak mematuhi ketentuan hukum (civil disobedient) menandakan bahwa produk hukum tersebut ‘cacat’ dan tidak mampu memberikan kontribusi pada tercapainya keselarasan, kedamaian, ketertiban dan kemaslahatan sosial.

BUREAUPATHOLOGY

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Korupsi berawal dari tata kelola birokrasi yang tidak benar atau secara ilmiah dikenal degan istilah penyakit pada birokrasi (bureaupathology). Dalam bentuk yang riil 'penyakit' ini berawal dari maladministrasi yang dibiarkan mewabah dan menaun (kronis). Ahli mengatakan bahwa maladministrasi  harus ditangani/ dibongkar dari akarnya, tidak bisa hanya dicegat di tengah jalan, apalagi di ujung jalan. Sebab, dari titik awal berangkat ke tengah perjalanan telah terbangun suatu jejaring, aktor-aktor dan bahkan tradisi terjadinya maladministrasi. Maladministrasi inilah bibit awal dari korupsi. Contoh maladministrasi misalnya: penundaan pemberian pelayanan, kurang peduli terhadap masalah yang tengah menimpa masyarakat yang disebabkan oleh perbuatan penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau  tidak adil, intimidatif atau diskriminatif dan tidak patut yang didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang yang berlaku dan lain-lain. Iklan KPK "PILIH YANG JUJUR" mungkin bisa menjadi sedikit 'obat penawar' dalam mengurangi potensi maladministrasi di masa depan. Masyarakat semestinya serius mensikapi ajakan KPK tersebut dalam memilih di arena "Pilpres dan Pileg" tanggal 17 April nanti. Kesalahan memilih justru akan mendorong kita memperparah Indonesia dalam kubangan kehidupan demokrasi yang cacat (flaw democracy) yang berpotensi akan menyuburkan maladministrasi dan korupsi pada birokrasi untuk 5 tahun kedepan.

MENGATASI HOAX : PRIMUM REMEDIUM ATAU ULTIMUM REMEDIUM

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Hoax ibarat wabah yang kini telah meluas, subur dan menjadi pernik unik pada peradaban manusia di era Industri 4.0. Hoax bisa membuat siapa saja bingung (bahkan pemerintahpun ikut jadi bingung), takut, ngeri tapi juga menggemaskan dan sering juga lucu. Hoax memang sering bersifat kriminal, namun kadang menghibur. Persoalannya, akankah pelaku hoax selalu dipidanakan? Kebijakan pidana pada dasarnya merupakan pendekatan yang paling tua (the oldest philosophy of crime control). Hukum pidana hanya dapat terselenggara dalam batas-batas tertentu saja dan jangkauan kekuasaannya hanya sampai pada perbuatan yang dapat dibuktikan. Bila satu, dua, tiga orang dipidana, tentu besar kemungkinan masih banyaknya pelaku-pelaku tindak pidana hoax yang berada di luar kerangka proses peradilan pidana tersebut. Belum lagi bahwa efektivitas hukum pidana itu tidak dapat diukur secara tepat. Pendidikan moral, keyakinan agama, dukungan serta penistaan dari kelompok penekan dan berpengaruh (negara, orang tua, guru dan sebagainya) merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum itu sendiri. Di sinilah negara perlu hadir untuk mengkampanyekan hidup kebal dengan hoax karena kebijakan kriminal negara sebenarnya berorientasi pada kebijakan sosialnya yang didalamnya mencakup social welfare policy. Negara wajib mensejahterakan rakyatnya. Kita pun tidak dapat mengetahui sejauh mana efektivitas setiap tindakan negara (pemidanaan) itu untuk dapat menjawab masalah-masalah penanggulangan kejahatan hoax secara pasti. Dalam persoalan ini, kita harus mengetahui sebab-sebab mengapa kejahatan hoax itu terjadi, meluas dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan yang lengkap mengenai etiologi tingkah laku manusia. Penggunaan hukum pidana untuk mengatasi hoax sebenarnya hanya merupakan penanggulangan sesuatu gejala (kurieren am sympton) saja dan bukan suatu penyelesaian. Maka solusi mengatasi hoax adalah penggunaan sarana pidana sebagai ultimum remedium bukan sebagai primum remedium. Masyarakat harus terus dipandaikan, mereka tentu akan semakin cerdas dan akan kebal dengan hoax dengan sendirinya.