Budaya Hukum (BH) dan amar UU No 23 Th 2014 Pasal 83. BH kita sebenarnya adalah ekspresi dari kebudayaan kita. Ia tidak hanya merupakan kondisi menerima atau menolak atas ketentuan hukum yang berlaku tapi juga upaya untuk mewujudkan suatu tata nilai kepada masyarakat. BH itu akan tercermin pada perilaku masyarakat, serta juga akan teramati dalam pola kebijakan dan perilaku pejabat. BH itu adalah kesadaran hukum (recht bewutzjin) yang sebenarnya sudah lama dicurigai sebagai penghambat pembangunan hukum (PH) di Negara kita. Bila PH ini tidak sukses maka hukum akan kurang maksimal dalam mengemban fungsi mulianya sebagai kendali sosial. Kondisi inilah yang berpotensi melahirkan banyaknya demo, 'civil disobidient', mogok dan protes-protes di media sosial dan sebagainya. Bila situasi seperti ini terus terjadi maka masalah ketertiban, ketentraman dan stabilitas dinamika sosial akan terganggu. Semestinya barang siapa (tidak pandang bulu) i.e. kepala daerah yang 'kena' ketentuan pasal 83, UU No 23 Tahun 2014, maka amar norma dalam pasal itu wajib dilaksanakan. Adalah kewajiban bagi 'sanction making institution' untuk segera melaksanakan amar pasal tersebut. Sedang bagi 'law making institution' harus menekan secara politis agar norma tersebut ditegakkan. Bila tidak, maka berhasilnya PH di Indonesia hanya akan bersifat thetoris dan utopis belaka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. Meluasnya pemahaman bahwa Pasal 27 Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2020 memberikan...
-
Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. G.Dipl.IfSc. Semua warga negara Indonesia diposisikan sama di hadapan hukum tanpa m...
-
Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. A. POSISI KASUS : Bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap terduga begal (G) yang dila...
No comments:
Post a Comment