Monday, 27 April 2020

WORLD VIEW

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 
Perbedaan pemahaman tentang hukum positif dan 'basic belief'. Setelah Kapolri menyatakan bahwa fatwa MUI bukan hukum positif, maka para cendekia ilmu hukum terkemuka Indonesia (Prof. Suteki, Prof. Barda Nawawi, Prof Yusril, Prof. Mahfud MD) memberikan 'comment' yang bermacam-macam. Ada yang senada tapi ada yang beda. Mengapa? Penyebabnya adalah 'basic belief' atau 'world view' atau para mahasiswa S3 biasa menyebut dengan 'paradigma' para pakar itu bisa sama, bisa pula berbeda. Paradigma inilah biangkeroknya. Paradigma merupakan pandangan yang sangat mendasar dari ilmuwan sebagai konstruksi mereka dalam berulah nalar. Paradigma inilah yang 'menggendong' serangkaian teori-teori yang pastinya sejalan dengan paradigmanya. Dari sinilah netizen bisa menebak bahwa Kapolri dan Prof Mahfud MD berparadigma "legal positivism" atau biasa dikenal dengan positivistik.  Sedangkan Prof Barda, Prof Suteki serta Prof Yusril dan segudang alumnus dan mahasiswa S3 PDIH Undip (termasuk saya) berparadigma 'legal constructivism' atau mungkin 'critical legal'. Jadi perbedaan itu wajar dan bisa dipahami sebagai model atau pola yang bisa diterima oleh ilmuwan.  Namun karena 'knowledge is transient' dan hukum itu bukan seperti 'mechanical machines' dimana 'input' di proses secara 'baku' jadi 'output' tapi hukum itu adalah 'organisme' yang hidup yg menjadi faset dari peradaban manusia dan tak terpisahkan dari perkembangan peradaban manusia, saya berpendapat bahwa paradigma positivistik akan tergusur oleh kondisi dan kodratnya sendiri. Itulah hidup dan kehidupan dan itulah 'life cycle' dari sebuah paradigma yang awalnya dulu dirintis oleh opa Thomas Kuhn. Semoga opa Kuhn ini tenang di alamnya dan tidak terusik oleh ulah kita. Hehehe.

No comments:

Post a Comment