Monday, 27 April 2020

BEWIJSVOERING

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

'Bewijsvoering' adalah penguraian dengan cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan azas 'due process of law' dalam sistem peradilan pidananya. Azas ini senantiasa, menjunjung tinggi HAM sehingga para pihak yang mengemukakan 'unlawful legal evidence' pasti akan dinyatakan bersalah oleh majelis karena perbuatan tersebut dinilai telah melanggar HAM. Adapun masalah HAM ini dijamin dengan tegas oleh Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian pengungkapan penyadapan pembicaraan adalah perbuatan yang jelas-jelas melanggar HAM dan tidak sejalan dengan asas 'due process of law' yang kita anut. 'Bewijsvoering' itu menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formalitas tentang halal dan haramnya bagaimana seseorang memperoleh fakta dan kebenaran. Apapun faktanya kalau hal tersebut diperoleh secara 'unlawful', majelis bisa mengesampingkan semua dalil dan kebenaran yang diajukan. Penyadapan komunikasi antara pribadi dengan pribadi lain sebenarnya merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana amanah pada pasal 40 UU Telekomunikasi. Bagi yang melanggar maka diancam penjara maksimal 15 tahun (pasal 56) dan juga melawan pasal 31 UU ITE dengan ancaman pidana selama 10 tahun (pasal 47). Baru dalam 'bijzondere delicten' (delik-delik khusus) yang diatur di luar KUH Pidana penyadapan boleh dilakukan dalam rangka mengungkap kejahatan. Pertimbangannya adalah bahwa kejahatan tersebut dilakukan secara terorganisir yang sulit pembuktiannya. Beberapa pembenaran penyadapan yang dibenarkan oleh undang-undang adalah:  (1) UU Psikotropika dan UU Narkotika membolehkan penyidik menyadap telepon namun seizin Kapolri (dalam30 hari). (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme membolehkan penyidik menyadap  (atas izin ketua pengadilan negeri) dalam satu tahun. (3) UU KPK, penyidik boleh melakukan penyadapan tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi oleh waktu. Diluar itu melakukan penyadapan adalah perbuatan yang melanggar HAM dan jelas-jelas telah melawan hukum. Oleh karena itu kasus penyadapan yang digunakan sebagai 'alat' untuk memenangkan suatu perkara di pengadilan merupakan 'unlawful legal evidence' yang nyata-nyata telah melanggar HAM. Majelis Hakim semestinya mempertimbangkan masalah 'bewijsvoering' tersebut sebagai hal yang serius.

No comments:

Post a Comment