Monday, 27 April 2020

‘’QUO VADIS’’ LEMBAGA KPK PERIODE 2020-2024

Oleh : Wahju Prijo Djatmiko

Secara filosofis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk demi mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Korupsi merupakan kejahatan super mala per se (sangat jahat dan tercela) yang bersifat evolutionary seiring dengan laju kemajuan peradaban. Ragam korupsi semakin bertambah dan  canggih modus operandi-nya meninggalkan jauh norma positif yang ada (ius constitutum). Kini, korupsi terjadi tidak hanya pada tataran aplikasi  dari sebuah sistem namun mulai tahap pembuatan aturan perundang-undangannya (legal and instrumental back up),  kejahatan tersebut sudah dilakukan.

Setelah berkiprah selama hampir 16 tahun, KPK memang telah berbuat banyak dalam memberantas korupsi di negeri ini. Namun kejahatan yang dikutuk oleh masyarakat (people condemnation) ini tak kunjung surut  tapi terus berkembang sistemik dan struktural bahkan sudah banalitas. Untuk itulah, guna memaksimalkan segera terwujudnya Indonesia bebas korupsi, KPK diharapkan tidak hanya bertumpu pada penggunaan pendekatan represif klasik saja. Kebijakan pencegahan dan penyertaan UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU selayaknya diaplikasikan dalam strategi utama KPK 4 tahun ke depan.  

Penyertaan  Pasal TPPU
Kerugian keuangan negara (KN) merupakan salah satu unsur penting dalam politik hukum pemberantasan TPK. Sayangnya, ketidaksamaan penafsiran definisi KN justru menimbulkan persoalan hukum. Perbedaan penafsiran tersebut diakibatkan adanya disharmonisasi diantara norma-norma positif yang berlaku  yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait makna sesungguhnya  dari KN. Norma-norma tersebut adalah UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan TPK, UU No. 17 Tahun 2003 Tentang KN, UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 atas pengujian Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang KN (Disertasi Anwarudin Sulistiyono, FH Unair, 2019)

Dari sisi UU TPPU, tudingan inkonsistensi perumusan pasal menjadi perdebatan serius di kalangan ahli hukum. Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah:  Pasal 3, Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 69, Pasal 77,  Pasal 78 dan Pasal 79 ayat (4)  undang-undang a quo yang dinilai berpotensi menimbulkan persoalan yuridis maupun pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam implementasinya. Akibatnya, penyertaan  pasal TPPU menjadi problem tersendiri bagi penyidik dan jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas profesinya.

Kompleksitas variabel yang digunakan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan dan  pembuktian kejahatan TPPU tidak cukup hanya didasarkan pada pendekatan yuridis normatif saja, pendekatan ilmu lain (ekonomi dan telematika) sangat menentukan keberhasilan proses dan mekanisme penyelesaian perkara tersebut. Untuk kepentingan penyertaan pasal TPPU ini, pendayagunaan penyidik-penyidik ekonomi  yang mumpuni menjadi kebutuhan yang harus diwujudkan oleh KPK.

Pada kasus TPPU lintas negara (cross-border money laundering), norma hukum  nasional menjadi lumpuh, sehingga penegakan hukum lintas negara sangat diperlukan. Disamping sulitnya menghadirkan saksi, penegakan hukum lintas juridiksi baik itu melalui perjanjian ekstradisi maupun mutual legal assistance (MLA) banyak menemui kendala dalam implementasinya. Disinilah konsep follow the offender’ dan follow the the money’ menjadi jurus ompong. Padahal penjahat TPPU besar memilih jalur pencucian lintas negara sebagai pilihan yang logis.

Pencegahan TPK
Penegakan hukum pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana yang efektif dalam rangka  penanggulangan TPK di Indonesia.  Disamping karena  jangkauannya cuma sampai pada delik yang bisa dibuktikan, hukum pidana hanya merupakan penanggulangan gejala, dan bukan penyelesaian yang  meniadakan akar kejahatan. Oleh sebab itu, langkah meminimalisir atau menghilangkan potensi terjadinya TPK merupakan pilihan kebijakan non- penal rasional yang selayaknya ditempuh oleh KPK.

Kebijakan pencegahan untuk menanggulangi kejahatan menurut Kongres PBB ke7 di Milan, Italia,  tahun 1985 mengenai ‘the prevention of crime and the treatment of offenders’ dilakukan dengan bertititik tolak dari upaya penghapusan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Terjadinya TPK tidak dapat dihentikan dengan aturan-aturan hukum yang lengkap serta oleh profesionalisme aparat hukum (AH), tetapi sangat ditentukan oleh moralitas dan budaya hukum masyarakatnya. KPK sebaiknya mengefektifkan extra legal system  yakni tindakan-tindakan di lapangan yang bermuara pada upaya pencegahan TPK.

Salah satu tindakan-tindakan di lapangan adalah kampanye pembaharuan moral (moral reform). Pembaharuan moral merupakan strategi sosial-budaya yang tidak saja dialamatkan kepada aparatur negara (AN) dan AH  tetapi juga kepada masyarakat luas. Salah satu pembaharuan moral yang seharusnya mendapatkan perhatian adalah ‘moral kejujuran’. Mewabahnya korupsi, merupakan salah satu indikator rendahnya moral kejujuran masyarakat serta wujud ketidakmampuan mereka dalam membangun komitmen kejujuran.

Pemberantasan TPK juga akan mendapatkan hambatan ketika budaya rasa malu dan rasa bersalah ini sudah tipis dalam sistem budaya masyarakat Indonesia. Dengan argumentasi diatas, korupsi selayaknya tidak lagi dipahami sebagai suatu gejala hukum namun sepatutnya dimengerti dan direspon sebagai gejala sosial-budaya. Di sisi inilah, KPK diharapkan giat dan berkesinambungan melakukan ‘anti corruption campaign’ sebagai bagian dari upaya membangun kesadaran hukum masyarakat (legal awareness).


Kesadaran hukum AN sangatlah besar kontribusinya dalam melaporkan adanya perbuatan koruptif atau salah kelola (maladministration) dalam ranah korupsi birokrasi. Setiap elemen dari AN bisa berperan serta sebagai whistleblower guna memerangi korupsi di lingkungan kerjanya. Untuk itu, KPK seyogyanya mendorong pengefektifan mekanisme reward bagi pelapor korupsi serta menggandeng Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi mereka dari upaya kriminalisasi balasan.

Wujud Kebijakan Preventif Pencegahan TPK
Pencegahan yang efektif akan mampu meminimalisasi dan mengendalikan faktor yang bersifat kriminal. Disamping itu, dengan lebih  komprehensif  memahami gejala korupsi  yang terjadi, akan mempermudah cara mencegahnya. Pendekatan ini diperlukan guna menyempurnakan strategi  non-penal yang selama ini telah dijalankan oleh KPK.

Wujud upaya-upaya preventif  yang dapat direalisasi KPK untuk mencegah TPK diantaranya dapat berupa: Pertama,  redesigning sistem pengawasan pelayanan publik  dengan fokus pengawasan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah baik pusat dan daerah dengan dukungan electronic based monitoring system. Kedua, menjalin koordinasi dan sinergi dengan kinerja di inspektorat jendral di kementrian dan sistem pengendalian internal di lembaga negara. Ketiga,  kampanye gerakan masyarakat luas yang secara aktif berfungsi sebagai co-KPK (mitra KPK dalam pengawasan) yang diharapkan membantu mempersempit peluang korupsi dan sekaligus berperan  memerangi TPK itu sendiri. Keempat, mendorong pemerintah dan DPR menerbitkan sarana hukum (legal substance) sebagai pijakan agar seluruh sistem pemerintahan yang kaitannya dengan penyelenggaraan program pelayanan publik (sub-sistem input, process dan output) dibuat setransparan mungkin dan bersifat accessible informasinya bagi khalayak luas. Kelima, giat menggalang kampanye “moral reform” sebagai strategi sosial-budaya yang dialamatkan kepada AN, AH dan masyarakat.  

Dengan demikian, upaya represif tetap digalakkan oleh KPK  dengan penyertaan pasal TPPU guna menimbulkan efek jera. Namun pendekatan upaya preventif sangat strategis untuk dioptimalkan dalam rangka mengakselerasikan peran KPK dalam pemberantasan TPK di Indonesia ke depannya.

No comments:

Post a Comment