Oleh : Wahju Prijo Djatmiko
Secara filosofis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dibentuk demi mewujudkan masyarakat
adil, makmur, sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Korupsi merupakan
kejahatan super mala per se (sangat jahat dan tercela) yang bersifat evolutionary
seiring dengan laju kemajuan peradaban. Ragam korupsi semakin bertambah
dan canggih modus operandi-nya
meninggalkan jauh norma positif yang ada (ius constitutum). Kini, korupsi
terjadi tidak hanya pada tataran aplikasi dari sebuah sistem namun mulai tahap pembuatan
aturan perundang-undangannya (legal and instrumental back up), kejahatan tersebut sudah dilakukan.
Setelah berkiprah selama hampir 16 tahun, KPK memang
telah berbuat banyak dalam memberantas korupsi di negeri ini. Namun kejahatan
yang dikutuk oleh masyarakat (people condemnation) ini tak
kunjung surut tapi terus berkembang
sistemik dan struktural bahkan sudah banalitas. Untuk itulah, guna
memaksimalkan segera terwujudnya Indonesia bebas korupsi, KPK diharapkan tidak
hanya bertumpu pada penggunaan pendekatan represif klasik saja. Kebijakan pencegahan
dan penyertaan UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan TPPU selayaknya diaplikasikan dalam strategi utama KPK 4 tahun ke
depan.
Penyertaan Pasal TPPU
Kerugian keuangan negara (KN) merupakan salah
satu unsur penting dalam politik hukum pemberantasan TPK. Sayangnya,
ketidaksamaan penafsiran definisi KN justru menimbulkan persoalan hukum. Perbedaan
penafsiran tersebut diakibatkan adanya disharmonisasi diantara norma-norma
positif yang berlaku yang berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum terkait makna sesungguhnya dari KN. Norma-norma tersebut adalah UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
TPK, UU No. 17 Tahun 2003 Tentang KN, UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 atas
pengujian Pasal 2 huruf g UU No. 17 Tahun 2003 tentang KN (Disertasi Anwarudin
Sulistiyono, FH Unair, 2019)
Dari sisi UU TPPU, tudingan inkonsistensi perumusan
pasal menjadi perdebatan serius di kalangan ahli hukum. Pasal-pasal tersebut
diantaranya adalah: Pasal 3, Pasal 65
ayat (1) dan Pasal 69, Pasal 77, Pasal 78
dan Pasal 79 ayat (4) undang-undang a
quo yang dinilai berpotensi menimbulkan persoalan yuridis maupun
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam implementasinya. Akibatnya, penyertaan pasal TPPU menjadi problem tersendiri bagi
penyidik dan jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas profesinya.
Kompleksitas variabel yang digunakan penyelidikan,
penyidikan, pemeriksaan dan pembuktian
kejahatan TPPU tidak cukup hanya didasarkan pada pendekatan yuridis normatif
saja, pendekatan ilmu lain (ekonomi dan telematika) sangat menentukan
keberhasilan proses dan mekanisme penyelesaian perkara tersebut. Untuk
kepentingan penyertaan pasal TPPU ini, pendayagunaan penyidik-penyidik ekonomi yang mumpuni menjadi kebutuhan yang harus
diwujudkan oleh KPK.
Pada kasus TPPU lintas negara (cross-border
money laundering), norma hukum
nasional menjadi lumpuh, sehingga penegakan hukum lintas negara sangat
diperlukan. Disamping sulitnya menghadirkan saksi, penegakan hukum lintas
juridiksi baik itu melalui perjanjian ekstradisi maupun mutual legal
assistance (MLA) banyak menemui kendala dalam implementasinya. Disinilah
konsep ‘follow the offender’ dan ‘follow the the
money’ menjadi jurus ompong. Padahal penjahat TPPU besar memilih jalur
pencucian lintas negara sebagai pilihan yang logis.
Pencegahan TPK
Penegakan hukum pidana tidak dapat diharapkan
sebagai satu-satunya sarana yang efektif dalam rangka penanggulangan TPK di Indonesia. Disamping karena jangkauannya cuma sampai pada delik yang bisa
dibuktikan, hukum pidana hanya merupakan penanggulangan gejala, dan bukan
penyelesaian yang meniadakan akar
kejahatan. Oleh sebab itu, langkah meminimalisir atau menghilangkan potensi
terjadinya TPK merupakan pilihan kebijakan non- penal rasional yang selayaknya
ditempuh oleh KPK.
Kebijakan pencegahan untuk menanggulangi
kejahatan menurut Kongres PBB ke7 di Milan, Italia, tahun 1985 mengenai ‘the prevention of
crime and the treatment of offenders’ dilakukan dengan bertititik tolak
dari upaya penghapusan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan. Terjadinya
TPK tidak dapat dihentikan dengan aturan-aturan hukum yang lengkap serta oleh
profesionalisme aparat hukum (AH), tetapi sangat ditentukan oleh moralitas dan
budaya hukum masyarakatnya. KPK sebaiknya mengefektifkan extra legal system yakni tindakan-tindakan di lapangan yang bermuara pada upaya pencegahan TPK.
Salah satu tindakan-tindakan di lapangan
adalah kampanye pembaharuan moral (moral
reform). Pembaharuan moral
merupakan strategi sosial-budaya yang tidak saja dialamatkan kepada aparatur
negara (AN) dan AH tetapi juga kepada
masyarakat luas. Salah satu pembaharuan moral yang seharusnya mendapatkan
perhatian adalah ‘moral kejujuran’.
Mewabahnya korupsi, merupakan salah satu indikator rendahnya moral kejujuran
masyarakat serta wujud ketidakmampuan mereka dalam membangun komitmen
kejujuran.
Pemberantasan TPK juga akan mendapatkan hambatan ketika budaya rasa malu dan rasa bersalah ini sudah tipis dalam sistem budaya masyarakat Indonesia. Dengan argumentasi diatas, korupsi selayaknya tidak lagi dipahami sebagai suatu gejala hukum namun sepatutnya dimengerti dan direspon sebagai gejala sosial-budaya. Di sisi inilah, KPK diharapkan giat dan berkesinambungan melakukan ‘anti corruption campaign’ sebagai bagian dari upaya membangun kesadaran hukum masyarakat (legal awareness).
Kesadaran hukum AN sangatlah besar
kontribusinya dalam melaporkan adanya perbuatan koruptif atau salah kelola (maladministration)
dalam ranah korupsi birokrasi. Setiap elemen dari AN bisa berperan serta
sebagai whistleblower guna memerangi korupsi di lingkungan kerjanya. Untuk
itu, KPK seyogyanya mendorong pengefektifan mekanisme reward bagi pelapor
korupsi serta menggandeng Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi
mereka dari upaya kriminalisasi balasan.
Wujud Kebijakan Preventif Pencegahan
TPK
Pencegahan yang efektif akan mampu
meminimalisasi dan mengendalikan faktor yang bersifat kriminal. Disamping itu,
dengan lebih komprehensif memahami gejala korupsi yang terjadi, akan mempermudah cara mencegahnya.
Pendekatan ini diperlukan guna menyempurnakan strategi non-penal yang selama ini telah
dijalankan oleh KPK.
Wujud upaya-upaya preventif yang dapat direalisasi KPK untuk mencegah TPK diantaranya
dapat berupa: Pertama, redesigning sistem pengawasan pelayanan
publik dengan fokus pengawasan sistem
pengadaan barang dan jasa pemerintah baik pusat dan daerah dengan dukungan electronic
based monitoring system. Kedua, menjalin koordinasi dan sinergi dengan
kinerja di inspektorat jendral di kementrian dan sistem pengendalian internal
di lembaga negara. Ketiga, kampanye gerakan masyarakat luas yang secara
aktif berfungsi sebagai co-KPK (mitra KPK dalam pengawasan) yang diharapkan membantu mempersempit peluang korupsi dan sekaligus berperan memerangi TPK itu sendiri. Keempat, mendorong
pemerintah dan DPR menerbitkan sarana hukum (legal substance) sebagai
pijakan agar seluruh sistem pemerintahan yang kaitannya dengan penyelenggaraan
program pelayanan publik (sub-sistem input, process dan output)
dibuat setransparan mungkin dan bersifat accessible
informasinya bagi khalayak luas. Kelima, giat menggalang kampanye “moral reform” sebagai strategi sosial-budaya yang dialamatkan kepada AN, AH dan
masyarakat.
Dengan demikian, upaya represif tetap
digalakkan oleh KPK dengan penyertaan
pasal TPPU guna menimbulkan efek jera. Namun pendekatan upaya preventif sangat strategis untuk dioptimalkan dalam
rangka mengakselerasikan peran KPK dalam pemberantasan TPK di Indonesia ke
depannya.
No comments:
Post a Comment