Bagi Bismar, hukum itu menyangkut etika, pantas dan tidak pantas, patut dan tidak patut dan bukan sekedar boleh atau tidak boleh. Bismar senantiasa dialog dengan dirinya sendiri sebelum memutus suatu perkara. Kebiasaan merenungkan kaitan antara pelaku, korban, masyarakat dan negara selalu menyibukkan pikirannya sebelum ia menjatuhkan si palu sakti. Bila kita simak secara seksama terhadap setiap amar putusannya, Bismar telah memberikan inspirasi tentang perlunya perenungan terlebih dahulu antara hukum dan keadilan sebelum seorang hakim itu memutus suatu perkara. Dengan kebiasaan tersebut, seorang hakim telah terbebaskan dirinya dari hanya sekedar sebagai mulut UU yang bekerja secara mekanik. Menurut Bismar, hakim itu harus menemukan hukum yang bersifat progresif, lebih mengutamakan keadilan dan kemanfaatan daripada sekedar meraih kepastian hukum belaka. Baginya, hakim itu wajib memperhatikan segala aspek hukum dan NON HUKUM, sehingga putusannya mendekati kearah sifat adil yang mampu menyelesaikan konflik, serta menentramkan kehidupan masyarakat luas. Hakim Agung Bismar memang telah menghadap Sang Maha Guru Ilmu Hukum Yang Maha Adil, namun ketauladanan serta pemikirannya tentu masih hidup dalam alam pikiran kita. Mudah-mudahan ketauladanan dan pemikiran itu juga bersemi subur pada nalar dan sanubari para pengadil kasus perkara Ahok.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. Meluasnya pemahaman bahwa Pasal 27 Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2020 memberikan...
-
Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. G.Dipl.IfSc. Semua warga negara Indonesia diposisikan sama di hadapan hukum tanpa m...
-
Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. A. POSISI KASUS : Bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap terduga begal (G) yang dila...
No comments:
Post a Comment