Oleh: Wahju Prijo Djatmiko
Bagi hakim agung yang menjatuhkan vonis kasasi untuk Baiq Nuril (BN) dan Syafruddin Arsyad Tumenggung (AST) tugas mereka telah usai. Namun masyarakat yang mempersoalkan putusannya, protes dan kekecewaan mereka baru mulai. Publik menilai keadilan yang diberikan para ‘wakil’ Tuhan atas tugasnya sebagai pelaksana hukum dan pencipta hukum jauh dari harapan.
Memberikan putusan adil merupakan persoalan paling berat bagi hakim dalam tugas mulianya. Ada proses perenungan, pemikiran dan analisis mendalam yang mesti dilalui. Mereka tidak diberi hak mengubah undang-undang (UU) tapi boleh menyimpang darinya dalam menjatuhkan amar putusan. Pergumulan konflik antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum selalu berkecamuk dalam sanubarinya.
Sayangnya, putusan seadil-adilnya menurut hakim, boleh jadi ketidakadilan yang luar biasa bagi pencari keadilan dan masyrakat (summum ius summa iniuria). Keadilan adalah ukuran yang dipakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek diluar diri kita yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan.
Masyarakat menuding vonis kasasi terhadap BN dan AST merupakan indikator kuatnya postivisme yuridis dalam lembaga peradilan di Indonesia. Fungsi Mahkamah Agung (MA) menjaga agar semua hukum dan UU di seluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar kini disangsikan oleh publik. Irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai manifestasi konsep 'religious judicative’ dianggap masyarakat sebagai sumpah sloganis yang jauh dari wujud praksisnya dalam kenyataan. Irah-irah tersebut memang sangat sakral dan bermakna mendalam sesuai amanah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 197 ayat (1) sub a UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Keadilan Prosedural
Dalam kasus BN, masyarakat beranggapan bahwa vonis kasasi MA atas guru honorer SMAN 7 Mataram, NTB tersebut merupakan wujud putusan hukum yang benar berdasarkan keadilan prosedural, namun jauh dari nilai keadilan hakikinya. Putusan kasasi MA Nomor 574K/Pid.Sus/2018 terasa tidak berkeadilan substansial lantaran BN sejatinya korban pelecehan yang dilakukan oleh oknum atasannya. Vonis MA terhadap BN sulit diterima oleh publik karena tidak menyentuh nurani kemanusiaan dan dianggap bertentangan dengan akal sehat.
Untuk perkara AST, dengan putusan kasasi No. 1555K/Pid. Sus/2019, MA memberikan vonis lepas (onslag van recht vervolging) dari segala tuntutan hukum karena yang dilakukan terdakwa bukanlah perbuatan pidana. Padahal Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukumnya 13 tahun penjara dan denda Rp700 juta subsidair 3 bulan kurungan sedangkan di tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hukumannya diperberat menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 3 bulan kurungan. Publik lagi-lagi menilai putusan kasasi MA terhadap AST tidak memiliki sense of crisis terhadap upaya pemberantasan korupsi .
Bercermin dari dua peristiwa hukum diatas ada kesan keadilan yang ditegakkan MA hanyalah keadilan prosedural, bukan keadilan substansial. MA dinilai lebih mengedepankan supremacy of law dan menenggelamkan asas supremacy of moral justice. Penerapan asas legalitas dalam norma positif diartikan semata-mata demi keadilan formalnya sehingga produk hukum yang dihasilkan mengusik rasa keadilan masyarakat luas.
Hakim sepertinya belum sepenuhnya beringsut dari positivisme hukum dengan keadilan proseduralnya. Ajaran positivisme mementingkan kepastian hukum dan mengesampingkan keadilan sebagai konsep moral. Moralitas dan hukum berada dalam ruang yang berbeda, sehingga keadilan bukan menjadi urusan hukum. Para pengadil sepertinya enggan berijtihad lebih jauh untuk berhukum progresif guna menggali kebenaran dan rasa keadilan (searching the truth and justice) yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana rekomendasi Sabastian Pompe (The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps, 2005), MA dalam menjatuhkan putusannya sama sekali tidak cukup hanya dengan melakukan studi dokumen, telaah sosiologis semestinya dilakukan akibat adanya pluralisme masyarakat, budaya dan hukum di Indonesia.
Disamping fokus pada penerapan hukum dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya, hakim seyogyanya melakukan penafsiran dengan pendekatan sosiologis, analogis dan a contrario bilamana ketentuan UU yang digunakan berpotensi berseberangan dengan kepentingan umum. Keadilan prosedural yang dijatuhkan terhadap BN dan AST dinilai tidak berpihak pada aspirasi publik. Kepentingan umum semestinya dijadikan pijakan legal reasoning hakim agar putusan yang dijatuhkan memberikan keadilan yang tidak melukai perasaan khalayak luas.
Berhukum progresif
Berhukum progresif artinya hakim tidak terpaku pada hitam-putih peraturan (text reading), melainkan menurut ukuran moralitas (moral reading) yang sedang menyelimuti masyarakat. Mendasarkan pada teks dan bukan konteks memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum kaku dan regimentatif. Akibat sifat hukum yang kaku (lex dura sed tamen scripta) inilah, banyak hal tidak terwadahi dalam ius constitutum, seperti suasana moral, harapan, semangat yang sedang mewarnai masyarakat. Dengan logika lain, teks-teks hukum tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai representasi kehidupan hukum yang otentik, benar dan relevan pada saat tertentu.
Penegakan hukum progresif tidak hanya berpijak pada kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, dalam diri hakim perlu disuburkan empati, dedikasi, komitmen terhadap suara hati masyarakat dan disertai keberanian keluar dari kukungan keadilan formalnya. Keadilan prosedural tergali melalui keadilan yang berasal dari norma positif yang berlaku, sedangkan keadilan substansial didapat dari proses menangkap nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat. Penalaran hukum socio legal bisa digunakan hakim berselancar agar putusan yang dilahirkannya tidak cacat secara sosial dan moral. Putusan hukum yang tidak membawa implikasi nilai moral merupakan produk hukum yang cacat ( leges sine moribus vanae). Socio legal dapat membantu memahami persoalan hukum lebih kontekstual dengan kondisi sosio-kultural kekinian. Dengan legal reasoning ini diharapkan keadilan substantif yang didasarkan pada moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan bisa tercermin dalam amar putusan sang pengadil.
Dalam perjalanan perdaban, hukum yang oleh positivist dilihat sebagai teks dan mengeliminasi peran manusia mendapatkan koreksi besar. Dia hanyalah mauskrip mati, manusia lah yang berperan sentral. Penggalan ungkapan bijak Bernandus Maria Taverne mungkin bisa membimbing berhukum bangsa ini ke depan, “Geef me een goede rechter dus zelfs met slechte wetgeving kan ik gerechtigheid brengen” yang artinya: “Beri saya hakim yang baik, sehingga bahkan dengan UU yang buruk sekalipun saya bisa membawa keadilan”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. Meluasnya pemahaman bahwa Pasal 27 Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2020 memberikan...
-
Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. G.Dipl.IfSc. Semua warga negara Indonesia diposisikan sama di hadapan hukum tanpa m...
-
Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. A. POSISI KASUS : Bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap terduga begal (G) yang dila...
No comments:
Post a Comment