Thursday, 30 April 2020

MENUJU POLRI YANG DEMOKRATIS DAN PROFESIONAL

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Sejak awal kelahirannya pada 1 Juli 1946, hingga terbitnya Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), wajah, watak serta kultur Polri mulai berubah menjadi sosok polisi sipil yang ideal. Dalam setiap upaya penegakan supremasi hukum, penguatan HAM, dan pelayanan publik, pengawalan demokrasi, Polri acapkali berada pada posisi yang rumit. Posisi yang kadangkala membuat hubungannya dengan sebagian masyarakat terganggu, dan beresiko konflik. Sebagian masyarakat memang masih terjebak pada pemahaman masa silam yang senantiasa melihat Polri sebagai alat kekuasaan dan alat kepentingan penguasa.

Perubahan paradigma Polri yang sungguh-sungguh sebagai ’social control institution’ dan sebagai ’social problem solver’ belum bisa dirasakan sepenuhnya oleh sebagian masyarakat. Kerja keras Polri dalam mengubah diri dianggap masih belum memenuhi harapan mereka. Dari sisi pelaksanaan penegakan hukum, sebenarnya Polri cenderung sudah mengurangi strategi manipulatif (menguasai orang lain) dan kompetitif (melawan orang lain). Polri mulai bersifat integratif (bersama orang lain) dalam mengupayakan terwujudnya keamanan insani dan publik serta keamanan dan pertahanan negara.



Aplikasi tugas penegakan hukum dalam ranah integratif mengandung pemahaman bahwa dalam internal Polri harus ditumbuhkembangkan suasana demokratis dan profesional. Polri yang Demokratis penumbuhan suasana demokratis dalam internal Polri dapat dicapai dengan baik dengan dilaksanakannya fungsi pengawasan internal (Irwasum, Propam dan para kepala kesatuan) dan eksternal (Kompolnas) yang sungguh-sungguh agar setiap insan Polri tidak melakukan penyimpangan dari ketentuan yang diamanatkan kepadanya dalam mengemban tugas profesi mulianya. Sedangkan keluar, Polri harus menempatkan dirinya sejajar dengan masyarakat, tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah dan tidak merasa dirinya sebagai ’super body’.

Sebagai kosekuensi logis dari posisi kesetaraannya dengan masyarakat, adanya suasana aman dan terciptanya ketertiban publik harus dicapai dan didasarkan pada supremasi hukum, transparansi, keterbukaan, pembatasan dan pengawasan kewenangan yang melekat, tegaknya HAM serta mendasarkan pelayanannya pada kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.

Untuk itu, semua anggota Polri wajib tunduk dan patuh pada hukum. Sebagai Alat Negara yang berperan dalam memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan pada masyarakat dalam rangka terpeliharanya kamdagri ( Pasal 5 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI), Polri diharapkan memberikan contoh bahwa secara internal suasana demokratis telah dijadikan landasan dalam pengembangan hidup organisasinya. Setiap individu Polri diharapkan mampu membuktikan diri dan menjadi tauladan bahwa dia tunduk dan patuh pada hukum.

Polri yang demokratis secara aplikatif dapat diwujudkan melalui tumbuhnya model kepemimpinan yang ’servant leadership’ dengan berpijak pada pedoman hidup yang sesuai dengan Tribata dan Catur Prasetya. Para kepala kesatuan inilah motor penggerak yang luar biasa yang secara kolektif akan mampu membangun Polri sebagai institusi yang demokratis dan kuat yang dapat menjadi contoh bagi entitas organ negara yang lain sebagaimana harapan Kapolri Jendral Tito Karnavian untuk menjadikan Polri yang ”strive for excellence and thrive excellence”. Polri yang demokratis, dalam aplikasi tugas pengabdiannya dituntut adanya kesesuaian antara fungsi pemolisiannya dengan prinsip-prinsip HAM. Oleh karena itu, tugas penegakkan hukum yang diembannya dalam rangka menciptakan kondisi kamtibmas harus berjalan seimbang dan seiring dengan kebebasan HAM. Di samping menjaga tegaknya prinsip-prinsip HAM, Polri semestinya mendorong terjaminnya hak ekonomi sosial masyarakat serta menjadi garda terdepan dalam turut membangun terwujudnya ideal civil society. Keberhasilan kinerja kepolisian tidaklah ditentukan oleh institusi Polri penilai keberhasilan tapi ditentukan oleh publik. Masyarakatlah tolok ukur yang paling valid dalam menilai kinerja Polri sesuai misi dan visi nya.

Polri yang Profesional
Makna terpenting dari reformasi Polri adalah upaya yang menonjolkan fungsi Polri sebagai pelayan masyarakat disamping perannya selaku order maintenance dan law inforcement. Reformasi ini memang tengah dan terus berjalan secara sistematis dan terarah menuju Polri yang profesional dan humanis. Reformasi dilakukan melalui mekanisme perubahan secara instrumental, struktural dan kultural. Perubahan secara instrumental dan struktural akan dapat dilakasanakan secara komprehensif dan tuntas oleh Polri. Namun, di sisi lain, perubahan secara kultural merupakan persoalan yang memakan waktu dan butuh keseriusan serta komitmen yang kuat baik itu dari sisi Pemerintah, Polri maupun masyarakat. Mengubah Polri menjadi institusi pelayanan bukanlah pekerjaan yang mudah. Dari 73 tahun usianya, sebagian dari sosoknya masih dianggap sebagai organisasi yang eksklusif. Untuk menguatkan peran Polri sebagai organisasi public service yang profesional, thesa Albert J. Reiss Jr. (The Police and the Public, The Terry Lectures, 2009) yang semestinya diwujudkan. Pertama, untuk mewujudkan Polri yang sadar akan perannya sebagai pelayan, penjaga dan pelindung masyarakat (the legalistic abusive officer) dipandang perlu dilaksanakan proses upgrading yang berkesinambungan terhadap setiap anggota Polri. Upgrading ini meliputi ranah pemikiran, penampilan dan ketrampilan Polri sebagai pelayan dan pelindung sosial yang profesional serta humanis.

Karena bintara Polri merupakan unsur terbesar dalam organisasi Polri dan ujung tombak pelayanan pada masyarakat, sudah selayaknya fokus upgrading terutama diperuntukkan jenjang bintara. Kedua, membentuk insan polisi yang menjalankan tugas pengabdiannya berdasarkan ketentuan hukum dan peraturan-peraturan yang ada. Polisi hanya menjalankan norma hukum yang melingkupi peran tugas pengabdiannya (the task officer). Kultur tugas pengabdian Polri semestinya jauh dari demi kepentingan pribadi, golongan maupun penguasa. Polri berada di ’tengah’ ketika masyarakat berselisih, menjadi penyeimbang dalam konflik antara mayoritas terhadap minoritas, bahkan menjadi ’liaison’ antara pemerintah dengan masyarakat. Ketiga, Polri seantiasa berorientsi pada upaya membantu memecahkan persoalan pada masyarakat, yang tidak kaku dalam menerapkan asas kepastian hukum (legal certainty) tapi lebih berpijak pada asas kemanfaatan hukum (legal benefit) demi tewujudnya tertib dan harmoni sosial.

Untuk itu, Polri sepatutnya lebih berfokus untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keberhasilan soft outputnya. Soft output adalah keberhasilan tugas Polri yang berkaitan dengan dampak psikologis pada masyarakat seperti rasa aman, rasa puas, rasa nyaman dan terwujudnya tertib sosial. Sehingga bagaimana tingkat responsif Polri merespon laporan masyarakat atas adanya kecelakaan, keributan, kejahatan, kebakaran merupakan isu yang sangat strategis. Adapun keberhasilan tugas Polri yang berhubungan dengan banyaknya perkara yang diungkap, jumlah tersangka yang ditangkap, merupakan hard output dari kesuksesan tugasnya. Sebagai Polri yang profesional dan demokratis, tolok ukur keberhasilan tugasnya bukanlah hanya dari sudut pandang hard output-nya saja melainkan lebih pada sisi soft output-nya.

No comments:

Post a Comment