Thursday, 24 December 2020

ALTERNATIF PENYELESAIAN PENYEBAB TERJADINYA CAROK DI MADURA (Suatu Kajian Sociological Yurisprudence)

Oleh :

Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.

  

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang majemuk, memiliki banyak suku yang tersebar di seluruh wilayahnya. Setiap suku yang ada memiliki ciri khas masing-masing sebagai pembeda dari suku lainnya. Di antara suku dari beberapa suku yang ada di Indonesia adalah suku Madura. Masyarakat Madura juga dikenal memiliki budaya khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjukkan pada pengertian bahwa etnis Madura memiliki kekhususan kultur yang tidak serupa dengan etnik komunitas lain.[1]

Pada kehidupan masyarakat Madura persoalan harga diri menjadi salah satu hasil dari keunikan budaya yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain, dan sampai saat inipun masih dipertahankan. Tidak sedikit dari masyarakat Madura yang tidak takut mati demi membela harga dirinya, yang pada umumnya termanifestasikan dalam bentuk carok.[2] Carok adalah sebuah simbol keberadaan laki-laki, sebuah perkelahian antar pria, yang biasannya dilakukan satu lawan satu yang kebanyakan disebabkan oleh perselisihan.[3]

Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah caruk (carok) diartikan sebagai berkelahi secara masal dengan menggunakan celurit.[1] Menurut Latif Wiyata, carok adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan menggunakan senjata tajam  pada umumnya celurit yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri, terutama berkaitan dengan masalah kehormatan diri, istri dan agama sehingga membuat malo (malu).[1]

Persoalan martabat (harga diri) dan perasaan malo merupakan faktor pemicu utama bagi orang Madura dalam melakukan carok, karena menanggung beban malu (malo) merupakan pantangan yang harus disingkirkan.[2] Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini dikenal ungkapan “ango’an poteya tolang etembeng poteya mata”, yang artinya lebih baik mati dari pada hidup harus menanggung malu.[3]

UNDUH DISINI


UPAYA MEMPERBAIKI BUDAYA HUKUM MASYARAKATMADURA UNTUK MENANGGULANGI PERBUATAN CAROK


Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.


ABSTRAK

 

   Carok, yang secara budaya berarti ‘perkelahian demi kehormatan, adalah suatu perkelahian yang sering menyebabkan kematian. Carok biasa dilakukan dengan menggunakan senjata tradisional masyarakat Madura (celurit). Kadang-kadang carok melibatkan sejumlah orang dari kedua belah pihak (penyerang maupun yang diserang) dan sering mengakibatkan pembunuhan masal. Carok bisa mengakibatkan pembalasan dan hal tersebut sering berkaitan dengan penistaan kehormatan pada sekelompok orang. Walaupun, telah dilakukan upaya untuk mencegah carok dengan menggunakan hukum positif (KUHP), faktanya perbuatan carok terus berlangsung sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen hukum positif gagal memberikan solusi pada persoalan carok. Disamping itu, perbuatan carok jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat globalisasi.

    Kajian ini memiliki dua tujuan: (1) untuk mendapatkan pengetahuan tentang adanya hubungan antara membangun hukum Indonesia yang berbasis Pancasila dengan membangun budaya hukum masyarakat; (2) untuk mendapatkan pengetahuan bagaimana membangun budaya hukum masyarakat Madura sebagai cara dalam menanggulangi perbuatan carok.

Kajian ini menyimpulkan: (1) bahwa pembangunan budaya hukum merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum di Indonesia. Hal ini berarti  bahwa pembangunan budaya hukum diusahakan agar tercapai suatu budaya yang berbasis pada Pancasila dengan menjadikan Pancasila sebagai “margin of appreciation”. Disamping itu, pembangunan budaya hukum masyarakat juga diusahakan untuk menjawab tantangan globalisasi yang berimbas pada seluruh aspek kehidupan manusia; (2) bahwa upaya membangun budaya hukum masyarakat Madura dilakukan dengan membangun kesadaran hukum pada masyarakat.  Kesadaran tersebut adalah bahwa perbuatan carok (upaya pembunuhan) disamping melawan hukum negara juga dilarang oleh agama apapun di dunia ini dan juga  merupakan pelanggaran terhadap HAM.

 

Kata kunci   : Carok, Sistem Hukum Indonesia, Budaya Hukum,

Kesadaran Hukum.



A.    PENDAHULUAN

 

1.    Latar Belakang

Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki banyak suku tersebar di seluruh wilayah pelosok negara. Setiap suku memiliki ciri khas masing-masing sebagai pembeda dari suku lainnya. Di antara suku yang ada di Indonesia adalah suku Madura.Pada masyarakat Madura ada kebiasaan (budaya) yang dikenal dengan istilah carok yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara orang-orang Madura.

Dalam kamus bahasa Indonesia, pengertian dari caruk (carok) adalah berkelahi secara masal dengan menggunakan celurit.[1] Menurut Latief Wiyata, carok adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan dengan menggunakan senjata tajam pada umumnya celurit yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lainnya yang telah dianggap melakukan pelecehan terhadap harga diri, terutama berkaitan dengan masalah kehormatan diri, isteri, dan agama sehingga membuat malo (malu).[2][...]

UNDUH DISINI

Sangkaan TPPU Terhadap Mantan Bupati Nganjuk

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menyita tanah milik mantan Bupati Nganjuk seluas 2,2 hektar di Desa Putren Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk. Sembilan bidang tanah itu disita tim penyidik KPK  terkait kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

Sang mantan bupati tersebut disangka melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Menurut UU tersebut  pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana: (1) Tindak pidana pencucian uang aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 3; (2) Tindak pidana pencucian uang pasif sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 dan (3) Mereka yang menikmati hasil dari TPPU sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5.

Adapun ancaman pidana untuk Pasal 3 adalah dipidana dengan kurungan penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sedangkan untuk Pasal 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Adapun bagi yang melanggar Pasal 5 ancaman pidananya juga berat yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Untuk kepentingan pengembalian keuangan negara ini, pemerintah telah menyiapkan serangkaian instrumen-instrumen hukum yang mempedomani bagaimana caranya dengan seefektif dan seefisien mungkin keuangan negara dapat diupayakan semaksimal mungkin diambil alih kembali oleh negara. Di samping instrumen hukum yang berasal dari produk pemerintah, instrumen hukum internasional tentang pengembalian keuangan negara juga diperlukan guna mengantisipasi pindahnya keuangan negara ke negara asing (transborder money loundry). Pada saat ini TPPU diproses oleh Pengadilan Umum sedangkan untuk kasus tindak pidana korupsi (TPK) di Pengadilan TPK. Tentunya akan lebih efisien bila keduanya ditangani oleh satu pengadilan saja yaitu pengadilan TPK. 

Dalam tindak pidana TPPU, setiap satu perkara akan merujuk pada dua jenis tindak pidana yakni tindak pidana asal/awal (predicate crime) dan TPPU. TPPU adalah perbuatan (daad) memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari adanya perbuatan pidana (een feit) seperti TPK, perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan disertai niat jahat (mensrea) untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga seolah-olah sebagai uang yang sah.

Proses pencucian uang selalu melibatkan aktifitas: (1) penempatan (placement); (2) pelapisan (layering); dan (3) penggabungan (integration). Aktifitas placement merupakan perbuatan menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu perbuatan pidana dengan merubah sifat asalnya seperti, merubah dari mata uang rupiah menjadi mata uang asing, atau menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil mata pencaharian yang sah. Perbuatan merubah sifat asal ini juga bisa dilakukan dengan merubah sifat uang hasil kejahatan menjadi bentuk deposito bank, cek atau berupa saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang asing atau transfer uang tersebut ke dalam valuta asing.[...]

FULL DOC.


Wednesday, 23 December 2020

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION) KASUS PEMBUNUHAN BEGAL DI WILAYAH HUKUM POLRES MALANG

Oleh :
Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

A. POSISI KASUS : 

Bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap terduga begal (G) yang dilakukan oleh anak (ZA, 17 th, menikah). Adapun summarized sequential order of legal events (peristiwa hukum) tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 

1. Bahwa ZA (TSK Pasal 338 subs Pasal 351 Ayat (2) KUHP) dengan teman wanitanya di ladang tebu     dihampiri oleh G (korban meninggal) dan M. 
2. Bahwa ZA diminta untuk menyerahkan barang yang dimilikinya kepada G dan M, namun ZA tidak        mau. 
3. Bahwa kemudian G dan M mengancam akan memperkosa teman wanita ZA bila dia tidak                    menyerahkan semua barang miliknya tersebut. 
4. Bahwa pada saat yang bertempo cepat ZA mengambil pisau dari bagasi motornya dan sambil                berteriak menusukkan pisau tersebut langsung tepat ke dada G dengan sekali tusukan yang                     mematikan. 
5. Bahwa setelah terjadi penusukan G dan M berlari menjauh, ZA serta merta mengejar M untuk                 (diduga) melakukan tindakan yang sama seperti yang telah dilakukan terhadap G namun tidak                 berhasil. 
6. Bahwa alasan ZA melakukan penusukan karena ancaman verbal yang diucapkan oleh G. 
7. Bahwa dalam peristiwa a quo G dan M tidak membawa senjata (unarmed) dan tidak melaksanakan        kekerasan terlebih dahulu.[...]

FULL OPINION

Sunday, 20 December 2020

Memantabkan Peran Polri Sebagai Pelayan Sosial

Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.

Doktor Ilmu Hukum Pidana UNDIP Semarang. Praktisi Hukum.

 

Institusi Polri lahir pada 1 Juli 1946, dengan demikian kini usianya sudah mencapai 74 tahun. Tentunya ini merupakan usia yang sudah sangat ‘mature’ bagi sebuah lembaga negara. Dalam perjalanan hidup organisasinya, berbagai pemikiran dan usaha telah dicurahkan untuk mempercantik ‘sosoknya’, memaksimalkan fungsi dan tugasnya  agar menjadi polisi yang dicintai masyarakatnya. Fungsi penegakan hukum yang diemban Polri diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Pasal 2 menegaskan bahwa  salah satu fungsi kepolisian adalah fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pernyataan ini ditegaskan kembali sebagai tugas dan wewenang Polri sebagaimana diatur pada Pasal 13.

Pelayan Masyarakat

Bagi masyarakat, Polri itu ‘contradictio in terminis’.  Masyarakat kadang benci tapi juga sangat merindukan sekali kehadiran dan bantuannya. Di masa pandemi ini misalnya, selain tenaga medis, Polri berada di garda terdepan dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Keberhasilan pemutusan penularan wabah memang tergantung dari kesadaran dan kedisiplinan masyarakat, namun untuk memastikan keduanya berjalan, diperlukan peran Polri yang proaktif di dalamnya. Polri, pada satu sisi memiliki tugas-tugas rutin sebagai aparat penegak hukum dan penjaga ketertiban umum, sementara di sisi lain menjadi pihak yang diandalkan untuk menegakkan disiplin masyarakat dalam mempersempit penularan wabah.

Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Virus Corona merupakan langkah proaktif Polri dalam mendukung PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Permenkes No. 9 Tahun 2020 untuk memutus mata rantai wabah corona di Indonesia. Melalui usaha penertiban masyarakat, Polri juga fokus pada penanganan kejahatan yang berpotensi terjadi saat penerapan PSBB, seperti street crime, perlawanan terhadap petugas, masalah ketersediaan bahan pokok, dan kejahatan siber yakni penindakan terhadap provokator dan penyebaran hoaks terkait penanganan COVID-19.

Dalam usaha penertiban masyarakat di masa pandemi, Polri nampak mulai berhukum progresif. Polri tidak terpaku pada hitam putih peraturan (text reading) dalam implementasi maklumat, melainkan lentur dan luwes mengikuti suasana emosional (moral reading) yang sedang menyelimuti masyarakat. Mendasarkan pada teks dan bukan konteks memilki kecenderungan kuat untuk berhukum kaku dan regimentatif yang berpotensi timbulnya benturan pada masyarakat yang ditertibkannya. Akibat sifat peraturan perundang-undangan yang kaku (lex dura sed tamen scripta), banyak hal tidak terwadahi seperti suasana batin, harapan dan semangat yang tengah menyelimuti masyarakat. Penegakan hukum progresif dalam rangka pelayanan masyarakat menuntut setiap insan Polri tidak hanya berpijak pada kecerdasan intelektual, melainkan juga ranah spiritual. Dalam diri setiap anggota Bhayangkara perlu disuburkan rasa empati, dedikasi, dan komitmen melayani masyarakat yang disertai semangat mengabdi sebagai polisi pelayan masyarakat.[...]


Full PDF

Menyoal Politik Hukum Pemerintah

Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.

Doktor Ilmu Hukum Pidana Undip Semarang, Praktisi Hukum.

 

Ramainya masyarakat melakukan penolakan  (demo) terhadap peraturan perundang-undangan yang diumumkan oleh Pemerintah dan semangat mereka mengajukan uji materi ke lembaga peradilan baik itu Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA)  mengindikasikan bahwa ada permasalahan  dengan corak politik hukum.

Selama tahun 2020,  perundang-undangan  yang menjadi perhatian luas publik yang digugat ke MK antara lain: (1) Undang-undang (UU)  No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;  (2) UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan ke tiga atas UU MK, sedangkan yang ke MA: (1) Peraturan Presiden  (Perpres) No. 64 tahun 2020 tentang Perubahan ke dua atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan; (2) Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan No. 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan ;  dan (3) Permen Kesehatan No. 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik.

Istilah politik hukum (rechtspolitiek) pertama kali diperkenalkan  di Indonesia oleh W.L.G Lemaire pada tahun 1955 dalam karyanya ‘Het Recht in Indonesia’ (Hukum di Indonesia). Cabang kajian Ilmu Hukum Tata Negara ini, dari sisi ontologis dan epistimologis memberikan landasan akademis proses pembentukan dan penemuan hukum agar lebih sesuai dengan konteks kesejahteraan, situasi dan kondisi, kultur serta nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.[...]

FULL PDF