Oleh :
Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia adalah negara yang majemuk, memiliki
banyak suku yang tersebar di seluruh wilayahnya. Setiap suku yang ada memiliki
ciri khas masing-masing sebagai pembeda dari suku lainnya. Di antara suku dari
beberapa suku yang ada di Indonesia adalah suku Madura. Masyarakat
Madura juga dikenal memiliki budaya khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan
istilah khas menunjukkan pada pengertian bahwa etnis Madura memiliki kekhususan
kultur yang tidak serupa dengan etnik komunitas lain.[1]
Pada kehidupan masyarakat Madura persoalan harga diri menjadi salah satu hasil dari keunikan budaya yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain, dan sampai saat inipun masih dipertahankan. Tidak sedikit dari masyarakat Madura yang tidak takut mati demi membela harga dirinya, yang pada umumnya termanifestasikan dalam bentuk carok.[2] Carok adalah sebuah simbol keberadaan laki-laki, sebuah perkelahian antar pria, yang biasannya dilakukan satu lawan satu yang kebanyakan disebabkan oleh perselisihan.[3]
Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah caruk (carok) diartikan sebagai berkelahi secara masal dengan menggunakan celurit.[1] Menurut Latif Wiyata, carok adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan menggunakan senjata tajam pada umumnya celurit yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri, terutama berkaitan dengan masalah kehormatan diri, istri dan agama sehingga membuat malo (malu).[1]
Persoalan martabat (harga diri) dan perasaan malo merupakan faktor pemicu utama bagi orang Madura dalam melakukan carok, karena menanggung beban malu (malo) merupakan pantangan yang harus disingkirkan.[2] Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini dikenal ungkapan “ango’an poteya tolang etembeng poteya mata”, yang artinya lebih baik mati dari pada hidup harus menanggung malu.[3]