Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.
Di Indonesia korupsi sudah mewabah luas di tengah masyarakat kita. Praktik korupsi di negri ini telah melahirkan apa yang disebut sebagai banalitas korupsi yang artinya bahwa korupsi adalah hal yang sudah umum dan wajar bagi masyarakat demi menggerakan roda kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian masyarakat justru ada yang beranggapan bahwa bila tanpa korupsi, kegiatan transaksi politik dan ekonomi akan terganggu, tersendat dan bahkan bisa menyulitkan semua pihak.
Banalitas korupsi telah menyeret bangsa ini ke kubangan dekadensi moral yang serius. Budaya rasa malu untuk melakukan korupsi di kalangan masyarakat dan aparat negara menipis. Budaya korup ini akhirnya mengakar kuat dan cenderung diterima sebagai keharusan oleh siapa saja. Transaksi-transaksi yang melibatkan otoritas kekuasaan akan berjalan mulus dan cepat bila ada imbalannya. Endemi korupsi telah masuk pada seluruh aspek kehidupan masyarakat kita dan telah ditolelir sebagai budaya hukum yang lumrah.
Seharusnya korupsi dipahami sebagai gejala kemorosotan nilai-nilai moral. Mereka yang bermental korup dan melakukan korupsi dengan sadar, sebenarnya telah mengalami kerusakan moral, suatu kerusakan yang bersifat psikologik yang susah disembuhkan.Kerusakan moral ini bisa menimpa siapa saja mulai pribadi biasa dari kelompok marginal, hingga pejabat tinggi, penyedia jasa hukum, jasa keadilan, jasa kesehatan, pendidik, hingga pemuka agama sekalipun. Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan untuk memberantas korupsi ini, namun semua ikhtiar itu belum membuahkan hasil yang maksimal.
Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi selayaknya tidak saja disandarkan pada kebijakan pidana, namun perlu dilakukan melalui pendekatan kebijakan sistemik. Pendekatan ini pada dasarnya mengutamakan aspek preventif, yang dihajatkan untuk mampu mengurangi tindak kejahatan korupsi. Pemberantasan tindak pidana secara represif (pidana) memang perlu terus digiatkan walaupun pada kenyataan hal tersebut kurang membuahkan hasil yang maksimal. Di samping memerlukan biaya yang sangat tinggi, dana yang dikorupsi sering sulit untuk dikembalikan kepada negara. Selain itu, penegakan pidana sering berbenturan dengan prinsip-prinsip legalitas sehingga beberapa kasus seperti yang sering dipraperadilkan oleh tersangka, aparat hukum kalah.
Tak Hanya Pidana
Atas realita tersebut, penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan kejahatan korupsi yang efektif. Hanya dengan tumbuhnya kemauan dan kesadaran kolektif dari setiap anggota bangsa yang besar inilah yang mampu mewujudkan Indonesia sepi korupsi. Sebenarnya faktor utama korupsi adalah pada diri manusia itu sendiri. Berharap mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih pun tidak bisa hanya diwujudkan melalui peraturan-peraturan hukum pidana dengan sanksi yang berat. Justru adanya kebiasaan, keyakinan agama, dukungan, pencelaan kelompok, dan penekanan dari kelompok-kelompok berpengaruh merupakan sarana-sarana yang lebih efesien untuk mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum pidana itu sendiri.[...]
No comments:
Post a Comment