Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.
Keadilan merupakan hasil interaksi antara harapan dan kenyataan yang ada. Ia bukanlah bahasa tulisan, namun lebih pada konteks perasaan yang hanya dapat dipahami dan didekati dengan sanubari bersih saja. Keadilan berkaitan dengan kebenaran, juga berarti tidak menyimpang darinya, tidak merugikan orang lain, yang konsepsinya dapat menjadi pedoman kehidupan diri sendiri maupun sosial. Keadilan juga menunjukkan ukuran yang dipakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek di luar diri kita yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan. Hukum diharapkan mampu memberikan nilai-nilai keadilan substansial ( substantive justice), sayangnya keadilan merupakan “barang mahal” yang jauh dari jangkauan para pencarinya. Dalam berbagai penanganan kasus hukum, sering ditemukan putusan-putusan hakim yang dirasa janggal dan dianggap telah mengoyak rasa keadilan masyarakat luas.
Memberikan vonis adil merupakan persoalan paling berat bagi hakim dalam tugas mulianya. Proses perenungan, pemikiran dan analisis mendalam mestinya dilalui. Ia tidak diberi hak mengubah undang-undang (UU) tapi boleh menyimpang darinya dalam menjatuhkan amar putusan. Pergumulan konflik antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum selalu berkecamuk dalam jiwanya. Sayangnya, putusan seadil-adilnya menurut hakim, boleh jadi ketidakadilan yang luar biasa bagi pencari keadilan dan masyarakat (summum ius summa iniuria). Irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sumpahnya sebagai ‘wakil' Tuhan dan sekaligus dirinya bertindak, berbuat serta bersumpah atas nama Nya. Frasa tersebut merupakan manifestasi dari konsep 'religious judicative’ yang dianut oleh bangsa Indonesia sesuai tuntunan Pancasila. Prolog yang wajib dibaca sebelum putusan ini bermakna mendalam sesuai amanah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 197 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Keadilan Prosedural
Positivisme hukum dengan keadilan proseduralnya masih kuat mewarnai metode berhukum pada sistem peradilan kita. Ajaran positivisme yang dikembangkan oleh John Austin (1790-1859) mementingkan kepastian hukum dan mengesampingkan keadilan sebagai konsep moral. Moralitas dan hukum berada dalam ruang yang berbeda, sehingga keadilan bukan menjadi urusan hukum. Para pengadil sepertinya enggan berijtihad lebih jauh untuk berhukum progresif guna menggali kebenaran dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Tentunya masih kuat di benak kita ketika bagaimana reaksi masyarakat menaggapi vonis kasasi hakim agung Mahkamah Agung (MA) untuk Baiq Nuril (BN) dan Syafruddin Arsyad Tumenggung (AST). Putusan kasasi yang dijatuhkan terhadap BN dan AST dinilai tidak berpihak pada aspirasi publik. Bahkan sebagian kalangan akademis menilai vonis kasasi terhadap BN dan AST merupakan indikator kuatnya postivisme yuridis pada lembaga peradilan di Indonesia. Keadilan prosedural tergali melalui keadilan yang berasal dari norma positif yang berlaku, sedangkan keadilan substansial didapat dari proses menangkap nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat.
Ihktiar untuk beranjak dari pemikiran positivisme sebenarnya sejalan dengan rekomendasi Sabastian Pompe (The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps, 2005), MA dalam menjatuhkan putusannya sama sekali tidak cukup hanya dengan melakukan studi dokumen, telaah sosiologis semestinya dilakukan akibat adanya pluralisme masyarakat, budaya dan hukum di Indonesia. Dalam prakteknya, vonis hakim sering hanya mencerminkan lahirnya keadilan prosedural, bukan keadilan substansial. Lembaga peradilan merasa lebih ‘aman’ mengedepankan supremacy of law daripada supremacy of moral justice. Penerapan asas legalitas dalam norma positif diartikan semata-mata demi keadilan formalnya sehingga putusan yang dijatuhkan acap kali dipersoalkan masyarakat luas.
Keadilan Substansial
Disamping fokus pada penerapan hukum dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya, hakim seyogyanya melakukan penafsiran dengan pendekatan sosiologis, analogis dan a contrario bilamana ketentuan UU yang digunakan berpotensi berseberangan dengan kepentingan umum. Sayangnya, pendekatan hukum progresif ini memerlukan waktu yang panjang dan melelahkan sehingga hakim enggan melakukannya disamping banyaknya kasus hukum yang ditanganinya.
Berhukum progresif memberikan kebebasan tidak terpaku pada hitam-putih peraturan (text reading), melainkan memahami ukuran moralitas yang sedang menyelimuti masyarakat (moral reading). Cara berhukum ini mengindikasikan sang pengadil tidak hanya berpijak pada kecerdasan intelektual, melainkan spiritualnya juga. Dengan kata lain, dalam dirinya perlu disuburkan keberpihakan, dedikasi, komitmen terhadap suara hati masyarakat dan disertai keberanian keluar dari kukungan keadilan formalnya. Dalam memutus perkara, hakim diharapkan berorientasi lebih pada misi daripada prosedur supaya keadilan substantial tergapai. Berhukum progresif menempatkan hukum bukan hanya sebagai sarana mencari kepastiannya melainkan pencarian kebenaran dan keadilan sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Konstitusi Negara. Turunan amanat tersebut melahirkan pemahaman bahwa kezaliman adalah perusakan dan pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. Inilah pokok pemikiran konsep keadilan sosial, yakni sesuatu keadilan yang harus dihormati baik di dalam norma maupun hukum yang kepada setiap orang Indonesia diperintahkan menegakkan serta menghormatinya.
Setidaknya terdapat tiga ciri yang bisa teramati bila sang pengadil berhukum progresif. Pertama, ia tidak terbelenggu bunyi teks dan aturan yang bila ditegakkan justru akan menimbulkan ketidakadilan. Mendasarkan pada teks dan bukan konteks memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum kaku. Akibat sifat hukum yang tidak lentur (lex dura sed tamen scripta) inilah, banyak hal tidak terwadahi dalam ius constitutum, seperti suasana moral, harapan, semangat yang sedang mewarnai masyarakat. Dengan logika lain, teks-teks hukum tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai representasi kehidupan hukum yang otentik, benar dan relevan pada saat tertentu. Kedua, penafsiran peristiwa hukum dilakukan secara mendalam hingga menyentuh konteks sosial dan filosofisnya agar makna sosial-ideologis yang paling mendasar dapat ditemukan. Ketiga, adanya keterlibatan emosional sang pengadil yakni terbangunnya empati dalam sanubarinya terhadap kaum marginal, lemah dan teraniaya. Penalaran hukum socio legal bisa digunakan hakim supaya putusan yang dilahirkannya tidak cacat secara sosial dan moral. Vonis yang tidak membawa implikasi nilai moral merupakan produk hukum yang cacat ( leges sine moribus vanae). Penalaran ini dapat membantu hakim memahami persoalan hukum lebih kontekstual dengan kondisi sosio-kultural kekinian. Dengan legal reasoning tersebut diharapkan keadilan substantial yang didasarkan pada moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan bisa tercermin dalam amar putusannya.
Dalam sejarah peradilan di Indonesia, nama Bismar Siregar sudah tidak asing lagi. Baginya, hukum itu menyangkut etika, pantas dan tidaknya, serta bukan sekedar boleh atau tidak boleh. Dia senantiasa berdialog dengan dirinya sendiri sebelum memutus suatu perkara. Kebiasaan memikirkan kaitan antara pelaku, korban, masyarakat dan negara selalu menyibukkan nalarnya sebelum menjatuhkan palu. Dengan kebiasaan tersebut, hakim akan terbebaskan dirinya dari hanya sebagai mulut UU yang bekerja secara mekanik. Menurutnya, hakim itu harus menemukan hukum yang bersifat progresif, yakni lebih mengutamakan keadilan dan kemanfaatan daripada meraih kepastiannya belaka. Sering ia menegaskan, hakim wajib memperhatikan segala aspek hukum dan non hukum, sehingga putusannya mendekati sifat adil yang mampu menyelesaikan konflik, serta menentramkan kehidupan masyarakat luas. Hakim Agung Bismar memang telah menghadap Sang Maha Adil, namun ketauladanan serta pemikirannya tentu masih hidup dalam alam pikiran kita. Mudah- mudahan tabiat terpujinya sebelum memberikan vonis bersemi subur pada nalar dan sanubari para hakim Indonesia. Sebagai penutup, penggalan ungkapan bijak Bernandus Maria Taverne (1874-1944) mungkin bisa membimbing berhukum bangsa ini ke depan, “Geef me een goede rechter dus zelfs met slechte wetgeving kan ik gerechtigheid brengen” yang artinya: “Beri saya hakim yang baik, sehingga bahkan dengan UU yang buruk sekalipun saya bisa membawa keadilan”.
No comments:
Post a Comment