Friday, 7 August 2020

MEMANTABKAN PERAN POLRI SEBAGAI PELAYAN SOSIAL

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Institusi Polri lahir pada 1 Juli 1946, dengan demikian kini usianya sudah 74 tahun. Tentunya ini merupakan usia yang sudah sangat ‘mature’ bagi sebuah lembaga negara. Dalam perjalanan hidup organisasinya, berbagai pemikiran dan usaha telah dicurahkan untuk mempercantik ‘sosoknya’, memaksimalkan fungsi dan perannya  agar menjadi polisi yang dicintai masyarakatnya. Fungsi penegakan hukum yang diemban Polri diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Pasal 2 menegaskan bahwa  salah satu fungsi kepolisian adalah fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pernyataan ini ditegaskan kembali sebagai tugas dan wewenang Polri sebagaimana diatur pada Pasal 13.

Pelayan Masyarakat
Bagi masyarakat, Polri itu ibarat dua sisi mata uang logam.  Masyarakat kadang masih merasa takut, segan dan acuh  di satu sisi, tapi juga sangat merindukan sekali kehadiran dan bantuannya di sisi lain. Di masa pandemi ini misalnya, selain tenaga medis, dapatlah dikatakan bahwa Polri berada di garda terdepan dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Keberhasilan pemutusan penularan wabah memang tergantung pada kesadaran dan kedisiplinan masyarakat, namun untuk memastikan keduanya berjalan, diperlukan peran Polri yang proaktif. Polri, memiliki tugas-tugas rutin sebagai aparat penegak hukum dan penjaga ketertiban umum, sekaligus  menjadi pihak yang diandalkan menegakkan disiplin masyarakat dalam mempersempit penularan wabah.

Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Virus Corona merupakan langkah proaktif Polri dalam mendukung PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Permenkes No. 9 Tahun 2020 untuk memutus mata rantai wabah corona di Indonesia. Melalui usaha penertiban masyarakat, Polri juga berkonsentrasi pada penanganan kejahatan yang berpotensi terjadi saat penerapan PSBB, seperti street crime, perlawanan terhadap petugas, masalah ketersediaan bahan pokok pangan dan obat-obatan, dan kejahatan siber yakni penindakan terhadap provokator dan penyebaran hoaks terkait masalah COVID-19.

Dalam usaha penertiban masyarakat di masa pandemi, Polri nampak mulai berhukum progresif. Polri tidak terpaku pada hitam putih peraturan (text reading) dalam implementasi maklumat, melainkan lentur dan luwes mengikuti suasana emosional (moral reading) yang sedang menyelimuti masyarakat. Mendasarkan pada teks dan bukan konteks memilki kecenderungan kuat untuk berhukum kaku dan regimentatif. Perilaku berhukum yang kaku berpotensi timbulnya benturan pada masyarakat yang ditertibkannya. Akibat sifat peraturan perundang-undangan yang formalistik (lex dura sed tamen scripta), banyak hal tidak terwadahi seperti suasana batin, harapan dan semangat yang tengah menyelimuti masyarakat. Penegakan hukum progresif dalam rangka pelayanan masyarakat menuntut setiap insan Polri tidak hanya berpijak pada kecerdasan intelektual, melainkan juga ranah spiritual. Dalam diri setiap anggota Bhayangkara perlu disuburkan rasa empati, dedikasi, dan komitmen melayani masyarakat yang disertai semangat mengabdi sebagai polisi pelayan masyarakat.

Budaya Hukum Polri
Budaya hukum Polri sangat mewarnai fungsinya sebagai social problem solver, order maintenance, dan law inforcement. Reformasi Polri memang tengah dan terus berjalan secara sistematis dan terarah menuju Polri yang ideal, demokratis dan profesional. Reformasi dilakukan melalui mekanisme perubahan secara instrumental, struktural dan kultural. Dalam perubahan itu sendiri terkandung makna adanya proses 3R yakni, ‘rethinking’, ‘reshaping’, dan ‘redesigning’ kedudukan, fungsi dan peran Polri di tengah masyarakat yang dilayaninya. Perubahan secara instrumental dan struktural akan dapat dilaksanakan secara komprehensif dan tuntas oleh Polri. Namun disisi lain, perubahan secara kultural (legal culture) merupakan persoalan yang sangat berat, memakan waktu dan butuh keseriusan serta komitmen yang kuat baik dari sisi Pemerintah, Polri maupun masyarakat.

Budaya hukum sebenarnya telah lama menjadi persoalan yang sulit direformasi. Inilah yang menjadi tantangan pimpinan Polri kedepannya. Watak, ‘wajah’, dan kultur korporasi serta personel Polri mulai tingkat Polsek hingga tataran paling tinggi diharapkan sesuai dengan yang didambakan masyarakat. Polri selayaknya setara dengan masyarakat yang dilayaninya. Tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah jua. Sebagai konsekuensi logis dari posisi kesetaraannya dengan masyarakat, pengkreasian suasana aman dan terciptanya ketertiban masyarakat harus dicapai dan didasarkan pada supremasi hukum dengan adanya transparansi keterbukaan dalam pelaksaannya serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk mendukung segera terwujudnya budaya hukum yang ideal perlu adanya pembatasan dan pengawasan kewenangan (diskresi) pada pemangku jabatan, mulai tingkat pimpinan kesatuan terendah hingga paling tinggi. Mendasarkan pelayanannya berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya, bukan kepada kepentingan lain merupakan sebuah keniscayaan bagi Polri. Polisi yang ideal adalah polisi yang sesuai dengan kebutuhan dan kultur masyarakatnya. Untuk itu, semua anggota Polri wajib tunduk dan patuh pada hukum. Setiap individu Polri selayaknya membuktikan diri dan menjadi contoh bahwa dia  berada di ‘bawah’ hukum. Pada hakekatnya, polisi adalah ‘hukum’ dan yang menghidupkan ‘hukum’, oleh karenanya dia harus berada di depan dalam memberikan teladan pada masyarakat akan ketaatannya pada hukum.

Merubah Polri menjadi institusi pelayanan bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk menguatkan peran Polri sebagai organisasi public service yang bersifat protagonis (sesuai dengan masyarakat) ada setidaknya 3 (tiga) hal yang perlu dilakukan. Pertama, dalam rangka memformulasikan kebutuhan dan tuntutan keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kepuasan  masyarakat, dipandang perlu Polri memaksimalkan peran Kompolnas (UU No. 2 Th. 2002, Pasal 38) sebagai mitra dalam menggagas upaya-upaya konseptual agar fungsi dan tugasnya bisa semakin ideal bagi masyarakat yang dilayaninya.

Kedua, untuk mewujudkan Polri yang mau dan mampu melayani masyarakat, dipandang perlu dilaksanakan proses upgrading  berkesinambungan terhadap anggota Polri. Upgrading ini meliputi ranah pemikiran, penampilan, dan keterampilannya  sebagai pelayan sosial. Karena bintara Polri merupakan unsur terbesar dalam organisasi Polri dan ujung tombak pelayanan masyarakat, sudah selayaknya fokus upgrading terutama diperuntukkan bagi jenjang kepangkatan bintara.

Ketiga, meletakkan Polsek sebagai  institusi strategis Polri dalam pelayanan masyarakat. Polsek-lah yang sangat dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Semestinya Polsek mendapat perhatian serius dari pimpinan Polri dalam hal kualitas personel, program kerja, pengawasan, anggaran, dsb. Sejauh ini, realitanya pada beberapa kasus, berbanding terbalik, justru persoalan di tingkat Polsek terlihat marginal.


No comments:

Post a Comment