Saturday, 22 August 2020

URGENSI KEBIJAKAN SISTEMIK UNTUK MENANGGULANGI KORUPSI

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.

Di Indonesia korupsi sudah mewabah luas di tengah masyarakat kita. Praktik korupsi di negri ini telah melahirkan apa yang disebut sebagai banalitas korupsi yang artinya bahwa korupsi adalah hal yang sudah umum dan wajar bagi masyarakat demi menggerakan roda kehidupan mereka sehari-hari. Sebagian masyarakat justru ada yang beranggapan bahwa bila tanpa korupsi, kegiatan transaksi politik dan ekonomi akan terganggu, tersendat dan bahkan bisa menyulitkan semua pihak.

Banalitas korupsi telah menyeret bangsa ini ke kubangan dekadensi moral yang serius. Budaya rasa malu untuk melakukan korupsi di kalangan masyarakat dan aparat negara menipis. Budaya korup ini akhirnya mengakar kuat dan cenderung diterima sebagai keharusan oleh siapa saja. Transaksi-transaksi yang melibatkan otoritas kekuasaan akan berjalan mulus dan cepat bila ada imbalannya. Endemi korupsi telah masuk pada seluruh aspek kehidupan masyarakat kita dan telah ditolelir sebagai budaya hukum yang lumrah.

Seharusnya korupsi dipahami sebagai gejala kemorosotan nilai-nilai moral. Mereka yang bermental korup dan melakukan korupsi dengan sadar, sebenarnya telah mengalami kerusakan moral, suatu kerusakan yang bersifat psikologik yang susah disembuhkan.Kerusakan moral ini bisa menimpa siapa saja mulai pribadi biasa dari kelompok marginal, hingga pejabat tinggi, penyedia jasa hukum, jasa keadilan, jasa kesehatan, pendidik, hingga pemuka agama sekalipun. Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan untuk memberantas korupsi ini, namun semua ikhtiar itu belum membuahkan hasil yang maksimal.

Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi selayaknya tidak saja disandarkan pada kebijakan pidana, namun perlu dilakukan melalui pendekatan kebijakan sistemik. Pendekatan ini pada dasarnya mengutamakan aspek preventif, yang dihajatkan untuk mampu mengurangi tindak kejahatan korupsi. Pemberantasan tindak pidana secara represif (pidana) memang perlu terus digiatkan walaupun pada kenyataan hal tersebut kurang membuahkan hasil yang maksimal. Di samping memerlukan biaya yang sangat tinggi, dana yang dikorupsi sering sulit untuk dikembalikan kepada negara. Selain itu, penegakan pidana sering berbenturan dengan prinsip-prinsip legalitas sehingga beberapa kasus seperti yang sering dipraperadilkan oleh tersangka, aparat hukum kalah.

Tak Hanya Pidana
Atas realita tersebut, penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan kejahatan korupsi yang efektif. Hanya dengan tumbuhnya kemauan dan kesadaran kolektif dari setiap anggota bangsa yang besar inilah yang mampu mewujudkan Indonesia sepi korupsi. Sebenarnya faktor utama korupsi adalah pada diri manusia itu sendiri. Berharap mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih pun tidak bisa hanya diwujudkan melalui peraturan-peraturan hukum pidana dengan sanksi yang berat. Justru adanya kebiasaan, keyakinan agama, dukungan, pencelaan kelompok, dan penekanan dari kelompok-kelompok berpengaruh merupakan sarana-sarana yang lebih efesien untuk mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum pidana itu sendiri.[...]

Thursday, 13 August 2020

MENYOAL KEADILAN HUKUM

Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Keadilan merupakan hasil interaksi antara harapan dan kenyataan yang ada. Ia bukanlah bahasa tulisan, namun lebih pada konteks perasaan yang hanya dapat dipahami dan didekati dengan sanubari bersih saja. Keadilan berkaitan dengan kebenaran, juga berarti tidak menyimpang darinya, tidak merugikan orang lain, yang konsepsinya dapat menjadi pedoman kehidupan diri sendiri maupun sosial. Keadilan juga menunjukkan ukuran yang dipakai dalam memberikan perlakuan terhadap objek di luar diri kita yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan. Hukum diharapkan mampu memberikan nilai-nilai keadilan substansial ( substantive justice), sayangnya keadilan merupakan “barang mahal” yang jauh dari jangkauan para pencarinya. Dalam berbagai penanganan kasus hukum, sering ditemukan putusan-putusan hakim yang dirasa janggal dan dianggap telah mengoyak rasa keadilan masyarakat luas. 

Memberikan vonis adil merupakan persoalan paling berat bagi hakim dalam tugas mulianya. Proses perenungan, pemikiran dan analisis mendalam mestinya dilalui. Ia tidak diberi hak mengubah undang-undang (UU) tapi boleh menyimpang darinya dalam menjatuhkan amar putusan. Pergumulan konflik antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum selalu berkecamuk dalam jiwanya. Sayangnya, putusan seadil-adilnya menurut hakim, boleh jadi ketidakadilan yang luar biasa bagi pencari keadilan dan masyarakat (summum ius summa iniuria). Irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sumpahnya sebagai ‘wakil' Tuhan dan sekaligus dirinya bertindak, berbuat serta bersumpah atas nama Nya. Frasa tersebut merupakan manifestasi dari konsep 'religious judicative’ yang dianut oleh bangsa Indonesia sesuai tuntunan Pancasila. Prolog yang wajib dibaca sebelum putusan ini bermakna mendalam sesuai amanah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang (UU) No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 197 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 

Keadilan Prosedural 
Positivisme hukum dengan keadilan proseduralnya masih kuat mewarnai metode berhukum pada sistem peradilan kita. Ajaran positivisme yang dikembangkan oleh John Austin (1790-1859) mementingkan kepastian hukum dan mengesampingkan keadilan sebagai konsep moral. Moralitas dan hukum berada dalam ruang yang berbeda, sehingga keadilan bukan menjadi urusan hukum. Para pengadil sepertinya enggan berijtihad lebih jauh untuk berhukum progresif guna menggali kebenaran dan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Tentunya masih kuat di benak kita ketika bagaimana reaksi masyarakat menaggapi vonis kasasi hakim agung Mahkamah Agung (MA) untuk Baiq Nuril (BN) dan Syafruddin Arsyad Tumenggung (AST). Putusan kasasi yang dijatuhkan terhadap BN dan AST dinilai tidak berpihak pada aspirasi publik. Bahkan sebagian kalangan akademis menilai vonis kasasi terhadap BN dan AST merupakan indikator kuatnya postivisme yuridis pada lembaga peradilan di Indonesia. Keadilan prosedural tergali melalui keadilan yang berasal dari norma positif yang berlaku, sedangkan keadilan substansial didapat dari proses menangkap nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat. 

Ihktiar untuk beranjak dari pemikiran positivisme sebenarnya sejalan dengan rekomendasi Sabastian Pompe (The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collaps, 2005), MA dalam menjatuhkan putusannya sama sekali tidak cukup hanya dengan melakukan studi dokumen, telaah sosiologis semestinya dilakukan akibat adanya pluralisme masyarakat, budaya dan hukum di Indonesia. Dalam prakteknya, vonis hakim sering hanya mencerminkan lahirnya keadilan prosedural, bukan keadilan substansial. Lembaga peradilan merasa lebih ‘aman’ mengedepankan supremacy of law daripada supremacy of moral justice. Penerapan asas legalitas dalam norma positif diartikan semata-mata demi keadilan formalnya sehingga putusan yang dijatuhkan acap kali dipersoalkan masyarakat luas. 

Keadilan Substansial 
Disamping fokus pada penerapan hukum dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya, hakim seyogyanya melakukan penafsiran dengan pendekatan sosiologis, analogis dan a contrario bilamana ketentuan UU yang digunakan berpotensi berseberangan dengan kepentingan umum. Sayangnya, pendekatan hukum progresif ini memerlukan waktu yang panjang dan melelahkan sehingga hakim enggan melakukannya disamping banyaknya kasus hukum yang ditanganinya. 

Berhukum progresif memberikan kebebasan tidak terpaku pada hitam-putih peraturan (text reading), melainkan memahami ukuran moralitas yang sedang menyelimuti masyarakat (moral reading). Cara berhukum ini mengindikasikan sang pengadil tidak hanya berpijak pada kecerdasan intelektual, melainkan spiritualnya juga. Dengan kata lain, dalam dirinya perlu disuburkan keberpihakan, dedikasi, komitmen terhadap suara hati masyarakat dan disertai keberanian keluar dari kukungan keadilan formalnya. Dalam memutus perkara, hakim diharapkan berorientasi lebih pada misi daripada prosedur supaya keadilan substantial tergapai. Berhukum progresif menempatkan hukum bukan hanya sebagai sarana mencari kepastiannya melainkan pencarian kebenaran dan keadilan sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Konstitusi Negara. Turunan amanat tersebut melahirkan pemahaman bahwa kezaliman adalah perusakan dan pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. Inilah pokok pemikiran konsep keadilan sosial, yakni sesuatu keadilan yang harus dihormati baik di dalam norma maupun hukum yang kepada setiap orang Indonesia diperintahkan menegakkan serta menghormatinya. 

Setidaknya terdapat tiga ciri yang bisa teramati bila sang pengadil berhukum progresif. Pertama, ia tidak terbelenggu bunyi teks dan aturan yang bila ditegakkan justru akan menimbulkan ketidakadilan. Mendasarkan pada teks dan bukan konteks memiliki kecenderungan kuat untuk berhukum kaku. Akibat sifat hukum yang tidak lentur (lex dura sed tamen scripta) inilah, banyak hal tidak terwadahi dalam ius constitutum, seperti suasana moral, harapan, semangat yang sedang mewarnai masyarakat. Dengan logika lain, teks-teks hukum tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai representasi kehidupan hukum yang otentik, benar dan relevan pada saat tertentu. Kedua, penafsiran peristiwa hukum dilakukan secara mendalam hingga menyentuh konteks sosial dan filosofisnya agar makna sosial-ideologis yang paling mendasar dapat ditemukan. Ketiga, adanya keterlibatan emosional sang pengadil yakni terbangunnya empati dalam sanubarinya terhadap kaum marginal, lemah dan teraniaya. Penalaran hukum socio legal bisa digunakan hakim supaya putusan yang dilahirkannya tidak cacat secara sosial dan moral. Vonis yang tidak membawa implikasi nilai moral merupakan produk hukum yang cacat ( leges sine moribus vanae). Penalaran ini dapat membantu hakim memahami persoalan hukum lebih kontekstual dengan kondisi sosio-kultural kekinian. Dengan legal reasoning tersebut diharapkan keadilan substantial yang didasarkan pada moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan bisa tercermin dalam amar putusannya. 

Dalam sejarah peradilan di Indonesia, nama Bismar Siregar sudah tidak asing lagi. Baginya, hukum itu menyangkut etika, pantas dan tidaknya, serta bukan sekedar boleh atau tidak boleh. Dia senantiasa berdialog dengan dirinya sendiri sebelum memutus suatu perkara. Kebiasaan memikirkan kaitan antara pelaku, korban, masyarakat dan negara selalu menyibukkan nalarnya sebelum menjatuhkan palu. Dengan kebiasaan tersebut, hakim akan terbebaskan dirinya dari hanya sebagai mulut UU yang bekerja secara mekanik. Menurutnya, hakim itu harus menemukan hukum yang bersifat progresif, yakni lebih mengutamakan keadilan dan kemanfaatan daripada meraih kepastiannya belaka. Sering ia menegaskan, hakim wajib memperhatikan segala aspek hukum dan non hukum, sehingga putusannya mendekati sifat adil yang mampu menyelesaikan konflik, serta menentramkan kehidupan masyarakat luas. Hakim Agung Bismar memang telah menghadap Sang Maha Adil, namun ketauladanan serta pemikirannya tentu masih hidup dalam alam pikiran kita. Mudah- mudahan tabiat terpujinya sebelum memberikan vonis bersemi subur pada nalar dan sanubari para hakim Indonesia. Sebagai penutup, penggalan ungkapan bijak Bernandus Maria Taverne (1874-1944) mungkin bisa membimbing berhukum bangsa ini ke depan, “Geef me een goede rechter dus zelfs met slechte wetgeving kan ik gerechtigheid brengen” yang artinya: “Beri saya hakim yang baik, sehingga bahkan dengan UU yang buruk sekalipun saya bisa membawa keadilan”.

Friday, 7 August 2020

MEMANTABKAN PERAN POLRI SEBAGAI PELAYAN SOSIAL

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

Institusi Polri lahir pada 1 Juli 1946, dengan demikian kini usianya sudah 74 tahun. Tentunya ini merupakan usia yang sudah sangat ‘mature’ bagi sebuah lembaga negara. Dalam perjalanan hidup organisasinya, berbagai pemikiran dan usaha telah dicurahkan untuk mempercantik ‘sosoknya’, memaksimalkan fungsi dan perannya  agar menjadi polisi yang dicintai masyarakatnya. Fungsi penegakan hukum yang diemban Polri diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri. Pasal 2 menegaskan bahwa  salah satu fungsi kepolisian adalah fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pernyataan ini ditegaskan kembali sebagai tugas dan wewenang Polri sebagaimana diatur pada Pasal 13.

Pelayan Masyarakat
Bagi masyarakat, Polri itu ibarat dua sisi mata uang logam.  Masyarakat kadang masih merasa takut, segan dan acuh  di satu sisi, tapi juga sangat merindukan sekali kehadiran dan bantuannya di sisi lain. Di masa pandemi ini misalnya, selain tenaga medis, dapatlah dikatakan bahwa Polri berada di garda terdepan dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Keberhasilan pemutusan penularan wabah memang tergantung pada kesadaran dan kedisiplinan masyarakat, namun untuk memastikan keduanya berjalan, diperlukan peran Polri yang proaktif. Polri, memiliki tugas-tugas rutin sebagai aparat penegak hukum dan penjaga ketertiban umum, sekaligus  menjadi pihak yang diandalkan menegakkan disiplin masyarakat dalam mempersempit penularan wabah.

Maklumat Kapolri No. Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Virus Corona merupakan langkah proaktif Polri dalam mendukung PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Permenkes No. 9 Tahun 2020 untuk memutus mata rantai wabah corona di Indonesia. Melalui usaha penertiban masyarakat, Polri juga berkonsentrasi pada penanganan kejahatan yang berpotensi terjadi saat penerapan PSBB, seperti street crime, perlawanan terhadap petugas, masalah ketersediaan bahan pokok pangan dan obat-obatan, dan kejahatan siber yakni penindakan terhadap provokator dan penyebaran hoaks terkait masalah COVID-19.

Dalam usaha penertiban masyarakat di masa pandemi, Polri nampak mulai berhukum progresif. Polri tidak terpaku pada hitam putih peraturan (text reading) dalam implementasi maklumat, melainkan lentur dan luwes mengikuti suasana emosional (moral reading) yang sedang menyelimuti masyarakat. Mendasarkan pada teks dan bukan konteks memilki kecenderungan kuat untuk berhukum kaku dan regimentatif. Perilaku berhukum yang kaku berpotensi timbulnya benturan pada masyarakat yang ditertibkannya. Akibat sifat peraturan perundang-undangan yang formalistik (lex dura sed tamen scripta), banyak hal tidak terwadahi seperti suasana batin, harapan dan semangat yang tengah menyelimuti masyarakat. Penegakan hukum progresif dalam rangka pelayanan masyarakat menuntut setiap insan Polri tidak hanya berpijak pada kecerdasan intelektual, melainkan juga ranah spiritual. Dalam diri setiap anggota Bhayangkara perlu disuburkan rasa empati, dedikasi, dan komitmen melayani masyarakat yang disertai semangat mengabdi sebagai polisi pelayan masyarakat.

Budaya Hukum Polri
Budaya hukum Polri sangat mewarnai fungsinya sebagai social problem solver, order maintenance, dan law inforcement. Reformasi Polri memang tengah dan terus berjalan secara sistematis dan terarah menuju Polri yang ideal, demokratis dan profesional. Reformasi dilakukan melalui mekanisme perubahan secara instrumental, struktural dan kultural. Dalam perubahan itu sendiri terkandung makna adanya proses 3R yakni, ‘rethinking’, ‘reshaping’, dan ‘redesigning’ kedudukan, fungsi dan peran Polri di tengah masyarakat yang dilayaninya. Perubahan secara instrumental dan struktural akan dapat dilaksanakan secara komprehensif dan tuntas oleh Polri. Namun disisi lain, perubahan secara kultural (legal culture) merupakan persoalan yang sangat berat, memakan waktu dan butuh keseriusan serta komitmen yang kuat baik dari sisi Pemerintah, Polri maupun masyarakat.

Budaya hukum sebenarnya telah lama menjadi persoalan yang sulit direformasi. Inilah yang menjadi tantangan pimpinan Polri kedepannya. Watak, ‘wajah’, dan kultur korporasi serta personel Polri mulai tingkat Polsek hingga tataran paling tinggi diharapkan sesuai dengan yang didambakan masyarakat. Polri selayaknya setara dengan masyarakat yang dilayaninya. Tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah jua. Sebagai konsekuensi logis dari posisi kesetaraannya dengan masyarakat, pengkreasian suasana aman dan terciptanya ketertiban masyarakat harus dicapai dan didasarkan pada supremasi hukum dengan adanya transparansi keterbukaan dalam pelaksaannya serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk mendukung segera terwujudnya budaya hukum yang ideal perlu adanya pembatasan dan pengawasan kewenangan (diskresi) pada pemangku jabatan, mulai tingkat pimpinan kesatuan terendah hingga paling tinggi. Mendasarkan pelayanannya berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya, bukan kepada kepentingan lain merupakan sebuah keniscayaan bagi Polri. Polisi yang ideal adalah polisi yang sesuai dengan kebutuhan dan kultur masyarakatnya. Untuk itu, semua anggota Polri wajib tunduk dan patuh pada hukum. Setiap individu Polri selayaknya membuktikan diri dan menjadi contoh bahwa dia  berada di ‘bawah’ hukum. Pada hakekatnya, polisi adalah ‘hukum’ dan yang menghidupkan ‘hukum’, oleh karenanya dia harus berada di depan dalam memberikan teladan pada masyarakat akan ketaatannya pada hukum.

Merubah Polri menjadi institusi pelayanan bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk menguatkan peran Polri sebagai organisasi public service yang bersifat protagonis (sesuai dengan masyarakat) ada setidaknya 3 (tiga) hal yang perlu dilakukan. Pertama, dalam rangka memformulasikan kebutuhan dan tuntutan keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kepuasan  masyarakat, dipandang perlu Polri memaksimalkan peran Kompolnas (UU No. 2 Th. 2002, Pasal 38) sebagai mitra dalam menggagas upaya-upaya konseptual agar fungsi dan tugasnya bisa semakin ideal bagi masyarakat yang dilayaninya.

Kedua, untuk mewujudkan Polri yang mau dan mampu melayani masyarakat, dipandang perlu dilaksanakan proses upgrading  berkesinambungan terhadap anggota Polri. Upgrading ini meliputi ranah pemikiran, penampilan, dan keterampilannya  sebagai pelayan sosial. Karena bintara Polri merupakan unsur terbesar dalam organisasi Polri dan ujung tombak pelayanan masyarakat, sudah selayaknya fokus upgrading terutama diperuntukkan bagi jenjang kepangkatan bintara.

Ketiga, meletakkan Polsek sebagai  institusi strategis Polri dalam pelayanan masyarakat. Polsek-lah yang sangat dekat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Semestinya Polsek mendapat perhatian serius dari pimpinan Polri dalam hal kualitas personel, program kerja, pengawasan, anggaran, dsb. Sejauh ini, realitanya pada beberapa kasus, berbanding terbalik, justru persoalan di tingkat Polsek terlihat marginal.