Wednesday, 6 May 2020

LEGAL POLICY AND ITS POSITION IN THE TAXONOMY OF SCIENCE

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Abstrak
Politik Hukum (Rechtspolitiek) adalah kajian yang relatif baru dan merupakan bagian dari disiplin Ilmu Hukum Tata Negara (Staatrecht). Politik Hukum terbentuk dari dua disiplin hukum yaitu Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum dan bukan merupakan intersection antara Ilmu Hukum dan Ilmu Politik. Politik Hukum berbicara pada tataran yang empiris-fungsional dengan menggunakan metode teleologis-konstruktif. Hal ini mengandung pemahaman bahwa terminologi ‘politik’ dalam Politik Hukum bermakna sebagai etik dan teknik kegiatan pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding). Dari aspek ontologis dan epistimologis Politik Hukum memiliki akar yang sangat kuat untuk dimasukan ke dalam studi Ilmu Hukum karena kenyataannya core problem dari studi Politik Hukum adalah hukum (peraturan perundang-undangan dalam berbagai bentuk dan levelnya). Artinya, sebagai sebuah disiplin hukum, Politik Hukum memberikan landasan akademis terhadap proses pembentukan dan penemuan hukum yang lebih sesuai dengan konteks kesejahterahan, situasi dan kondisi, kultur, nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Kata kunci: politik hukum, rechtsvinding, rechtsvorming, taksonomi.

Download PDF: http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/1903/545

PARADIGMA PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL YANG RESPONSIF DALAM PERSPEKTIF TEORI J.H.MERRYMAN TENTANG STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Abstrak
Pembangunan hukum pada hakikatnya merupakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan yang hendak dicapai yakni menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Salah satu perundang-undangan yang dijudicial review adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Adanya judicial review terhadap UU No. 19 Tahun 2013, mengindikasikan jika undang-undang tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai kemanfaatan sosial. Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan keselarasan dan kemanfaatan antara UU No. 19 Tahun 2013 sebagai hukum tertulis dengan masyarakat. Fenomena itu kemudian dianalisis teori strategi pembangunan hukumnya John Henry Merryman. Produk hukum yang bersifat responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Adapun proses pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistis dalam arti lebih dominannya lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif dalam mewarnai  hukum.
Kata Kunci: hukum ortodoks, hukum responsif, judicial review, pembangunan hukum

Pdf: https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/view/454/90807

Tuesday, 5 May 2020

REKONSTRUKSI BUDAYA HUKUM DALAM MENANGGULANGI CAROK DI MASYARAKAT MADURA BERDASAR NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI SARANA POLITIK KRIMINAL

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Abstrak
Tulisan ini mencoba mengungkap carok sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri manusia, istri, agama, dan perselisihan atas tanah dan sumber daya alam di Madura. Meskipun ada banyak upaya untuk mengatasi keadilan main hakim sendiri ini, pada kenyataannya, tindakan ini tetap ada sampai sekarang. Oleh karena itu, gagasan untuk merekonstruksi budaya hukum beberapa orang Madura berdasarkan nilai-nilai Pancasila untuk menyelesaikan carok diharapkan mengubah situasi. Ada tiga (3) masalah penting yang dibahas, yaitu: (1) Mengapa beberapa orang Madura memilih carok sebagai solusi alternatif? (2) Apa persepsi sebagian orang Madura tentang penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri manusia, istri, agama, dan perselisihan sumber daya alam sehingga mereka memilih carok sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah? (3) Bagaimana merekonstruksi budaya hukum untuk mengatasi carok di Madura berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai alat kebijakan kriminal? Untuk menjawab tiga masalah penelitian di atas, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif naturalistik dengan pendekatan socio-legal. Studi ini menyimpulkan bahwa carok adalah norma sosial yang mendapatkan dukungan sosial untuk menyelesaikan konflik bagi sebagian orang Madura. Selain itu, ini juga merupakan perwujudan keadilan, pilihan rasional dan budaya hukum beberapa orang Madura. Konstruksi budaya hukum Madura dicapai dengan (i) Memanfaatkan peran orang tua, kyai, dan elit lokal untuk mengatasi carok; (ii) Menggunakan budaya musyawarah melalui pengajaran informal tentang hukum dan agama; (iii) Mempengaruhi pandangan orang bahwa keadilan main hakim sendiri sebenarnya adalah budaya hukum yang salah; (iv) Membangun kesadaran hukum dengan mengaktualisasikan Pancasila; dan (v) Berfungsinya Lembaga Musyawarah Adat (LMA) atau sistem peradilan informal untuk mengatasi masalah a quo.
Kata Kunci: carok, kebijakan kriminal, budaya hukum, sistem peradilan informal.

Download pdf: https://ejournal.undip.ac.id/index.php/hukum_progresif/article/view/23612/15268

Monday, 4 May 2020

SYSTEMIC POLICY AS CRIMINAL POLITICS IN ERADICATING CORRUPTION IN INDONESIA

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Abstract
Criminal Policy is a rational organization of the control of crime by society, which can be carried out operationally through a penal or non-penal policy. Reality shows that there is a flaw in penal policy in preventing crime act of corruption in Indonesia. Various efforts have been done to eradicate corruption, starting from law enforcement, political will, legislative policy, establishment of special institutions/commissions, improvement and reformation on bureaucracy, law socialization in various circles, and establishment of international cooperation. Yet, all of those efforts have not yielded maximum results. In Indonesia, corruption is still raging. Therefore, the corruption prevention policy should rely on not only penal policy, but also non-penal policy (systemic policy). The corruption prevention policy using systemic approach is a strategic policy as it is more preventive in dealing with corruption. The main goal of systemic policy is to handle and reduce the causative factors of criminal act of corruption.
Keywords: Non-penal policy, Corruption, Systemic policy

Download PDF: http://apfjournal.or.id/index.php/apf/article/view/19/pdf

Sunday, 3 May 2020

LAW AND PUBLIC RELATIONS IN INDONESIA: VIEWED FROM THE THEORY OF JOHN HENRY MERRYMAN ON STRATEGIES OF LEGAL DEVELOPMENT

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Abstrak
Pembangunan hukum pada hakikatnya merupakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable delevelopment), fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan yang hendak dicapai yakni menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Walaupun pembangunan hukum diarahkan pada terwujudnya hukum yang dapat menciptakan tata tertib dalam kehidupan masyarakat, yang berarti hukum dan masyarakat saling berhubungan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak produk hukum dalam arti perundang-undangan yang tidak dapat menciptakan ketertiban dalam kehidupan masyarakat, salah satu perundang-undangan yang dijudicial review adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dengan adanya judicial review terhadap UU No. 19 Tahun 2013, jelas undang-undang ini tidak mencerminkan faktor kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan keselarasan dan kemanfaatan antara UU No. 19 Tahun 2013 sebagai hukum tertulis dengan masyarakat. Fenomena itu kemudian dilihat dari teori John Henry Merryman tentang strategi pembangunan hukum (ortodoks dan responsif). Produk hukum yang bersifat responsif, proses pembuatannya bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Adapun proses pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistis dalam arti lebih dominannya lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.
Kata kunci: positivisme hukum, subjektivitas, filsafat hukum, paradigma.

Download PDF: http://www.journal.walisongo.ac.id/index.php/walrev/article/view/4751

Friday, 1 May 2020

RECONSTRUCTION LEGAL CULTURE OF MADURESE BASED ON PANCASILA VALUES AS CRIMINAL POLICY IN TACKLING CAROK

Oleh: Wahju Prijo Djatmiko

Abstract
This study attempts to uncover carok, a tradition used as a solution to overcome problems related to the humiliation of a man's honor in the Madurese. This homogenous society believes that dying would be better than living enduring shame. It seems that carokbecomes a socio-cultural fate for the Madurese, which is a means to express their ethnological destiny. Despite several efforts to prevent carok, such tradition keeps existing. It means that the affirmative legal instruments fail to provide a solution. Therefore, reconstructing the legal culture of the Madurese based on Pancasila's values to overcome the problem is proposed to be an alternative. This research has three objectives that are to find out:(1) Why the Madurese choose carok as a final solution (2) What the effects of using carok are (3) How to reconstruct the Madurese legal culture based on Pancasila’s values to avoid carok. The study concludes that (1) Carok is chosen because it is a social norm gaining social supports; (2) The effects of using carok are that there are participants who (i) agree, (ii) disagree (iii) agree on carok in the case of humiliation of the wife’s honor only (iv) there is a hope to have powerful generations and there are increasing roles of the local elites (3) The construction of the Madurese legal culture can be achieved by (i) emphasizing the roles of parents and the local elites (ii) influencing people’s perspective that vigilante justice is harmful (iii) building legal awareness and operating a type of the informal justice systems (IJS) named Lembaga MusyawarahAdat (LMA) to overcome carok and other social problems.
Keywords: carok (duel), madurese culture, legal culture, criminal policy, pancasila.