Saturday 27 February 2021

PASAL 27 UU NO 2 TAHUN 2020 MERUPAKAN KEBIJAKAN HUKUM BIASA

Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. 

    Meluasnya pemahaman bahwa Pasal 27 Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2020 memberikan "impunity" adalah pemahaman yang sesat nalar (logical fallacy) dalam perspektif ilmu Hukum Pidana. Pasal yang senada sebenarnya juga digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dalam hukum nasional di Indonesia, misalnya dalam UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman yakni Pasal 10; UU No. 8 Tahun 2003 tentang Advokat yakni Pasal 16; UU No. 2 Tahun 2018 perubahan Kedua UU MD3, yakni ketentuan Pasal 224, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 9 Tahun 1976 dan lain-lainnya. 

    Bila kita cermati makna substantif dari Pasal 27 ayat (1) adalah memang bukan merupakan kerugian negara, selagi pengeluaran dilakukan demi kepentingan pelaksanaan kebijakan pendapatan negara oleh Pemerintah dan atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di bidang kebijakan perpajakan, belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional. Adapun pemahaman yang harus digarisbawahi adalah bahwa semua belanja tadi dilaksanakan dengan sangat memperhatikan nilai-nilai kelayakan, kepatutan, keadilan dan kejujuran

    Adapun makna substantif dari Pasal 27 ayat (2) itu tidak bersifat "longgar", akan tetapi ada syarat yang harus terpenuhi yakni [....]


FULL DOC.

HUKUM PIDANA TIDAK MENGENAL HAK IMUNITAS

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc. G.Dipl.IfSc.

    Semua warga negara Indonesia diposisikan sama di hadapan hukum tanpa membedakan suku, agama, ras, difabel maupun status sosial, termasuk profesinya. Inilah amanat Konstitusi Negara yakni Pasal 27 ayat (1), yang secara keilmuan hukum dikenal asas equality before the law. Asas ini merupakan ciri fundamental dari negara hukum (rechtstaat) sehingga tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum (gelijkheid van ieder voor de wet).

    Adanya anggapan bahwa adanya pasal-pasal impunitas pada undang- undang merupakan hak imunitas adalah sesat nalar. Keberadaan pasal-pasal tersebut merupakan kebijakan hukum pidana biasa. Jika dan hanya jika tidak ada (1) perbuatan melawan hukum dan (2) adanya niat/iktikad baik dalam menjalankan tupoksi-nya maka pasal-pasal tersebut operatif. Sudah banyak nama-nama besar baik itu dari kalangan advokat mupun pejabat publik dan wakil rakyat yang kesandung persoalan hukum pidana walaupun ada pasal-pasal impunitas yang menaungi profesinya. 

    Pengaturan mengenai hak imunitas dapat ditemukan dalam berbagai macam produk perundang-undangan di Indonesia. Misalnya, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU COVID-19), yakni Pasal 27; UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yakni Pasal 224; UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yakni Pasal 16 dan UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman yakni Pasal 10.

    Potensi terjadinya abuse in law misalnya merupakan fenomena umum yang sering muncul pada para pemeroleh pasal-pasal impunitas. Bila tidak hati-hati dalam memaknai pasal-pasal tersebut maka sering sekali kecerobohan itu akan mengarah ke perilaku spes impunitatis continuum affectum tribuit delinquendi yang berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa kecenderungan kepada orang tersebut untuk melakukan kejahatan dan impunitatis semper ad deteriora invitat yang berarti imunitas mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.

    Berdasarkan kedua postulat itu, imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak dikenal. Imunitas dalam hukum pidana hanya diberikan kepada [....]

FULL DOC.

Thursday 24 December 2020

ALTERNATIF PENYELESAIAN PENYEBAB TERJADINYA CAROK DI MADURA (Suatu Kajian Sociological Yurisprudence)

Oleh :

Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.

  

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang majemuk, memiliki banyak suku yang tersebar di seluruh wilayahnya. Setiap suku yang ada memiliki ciri khas masing-masing sebagai pembeda dari suku lainnya. Di antara suku dari beberapa suku yang ada di Indonesia adalah suku Madura. Masyarakat Madura juga dikenal memiliki budaya khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjukkan pada pengertian bahwa etnis Madura memiliki kekhususan kultur yang tidak serupa dengan etnik komunitas lain.[1]

Pada kehidupan masyarakat Madura persoalan harga diri menjadi salah satu hasil dari keunikan budaya yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain, dan sampai saat inipun masih dipertahankan. Tidak sedikit dari masyarakat Madura yang tidak takut mati demi membela harga dirinya, yang pada umumnya termanifestasikan dalam bentuk carok.[2] Carok adalah sebuah simbol keberadaan laki-laki, sebuah perkelahian antar pria, yang biasannya dilakukan satu lawan satu yang kebanyakan disebabkan oleh perselisihan.[3]

Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah caruk (carok) diartikan sebagai berkelahi secara masal dengan menggunakan celurit.[1] Menurut Latif Wiyata, carok adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan menggunakan senjata tajam  pada umumnya celurit yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lain yang telah dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri, terutama berkaitan dengan masalah kehormatan diri, istri dan agama sehingga membuat malo (malu).[1]

Persoalan martabat (harga diri) dan perasaan malo merupakan faktor pemicu utama bagi orang Madura dalam melakukan carok, karena menanggung beban malu (malo) merupakan pantangan yang harus disingkirkan.[2] Tindakan carok merupakan manifestasi dari upaya membela dan menjaga harga diri dengan jalan kekerasan fisik. Dalam konteks ini dikenal ungkapan “ango’an poteya tolang etembeng poteya mata”, yang artinya lebih baik mati dari pada hidup harus menanggung malu.[3]

UNDUH DISINI


UPAYA MEMPERBAIKI BUDAYA HUKUM MASYARAKATMADURA UNTUK MENANGGULANGI PERBUATAN CAROK


Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.


ABSTRAK

 

   Carok, yang secara budaya berarti ‘perkelahian demi kehormatan, adalah suatu perkelahian yang sering menyebabkan kematian. Carok biasa dilakukan dengan menggunakan senjata tradisional masyarakat Madura (celurit). Kadang-kadang carok melibatkan sejumlah orang dari kedua belah pihak (penyerang maupun yang diserang) dan sering mengakibatkan pembunuhan masal. Carok bisa mengakibatkan pembalasan dan hal tersebut sering berkaitan dengan penistaan kehormatan pada sekelompok orang. Walaupun, telah dilakukan upaya untuk mencegah carok dengan menggunakan hukum positif (KUHP), faktanya perbuatan carok terus berlangsung sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen hukum positif gagal memberikan solusi pada persoalan carok. Disamping itu, perbuatan carok jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat globalisasi.

    Kajian ini memiliki dua tujuan: (1) untuk mendapatkan pengetahuan tentang adanya hubungan antara membangun hukum Indonesia yang berbasis Pancasila dengan membangun budaya hukum masyarakat; (2) untuk mendapatkan pengetahuan bagaimana membangun budaya hukum masyarakat Madura sebagai cara dalam menanggulangi perbuatan carok.

Kajian ini menyimpulkan: (1) bahwa pembangunan budaya hukum merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum di Indonesia. Hal ini berarti  bahwa pembangunan budaya hukum diusahakan agar tercapai suatu budaya yang berbasis pada Pancasila dengan menjadikan Pancasila sebagai “margin of appreciation”. Disamping itu, pembangunan budaya hukum masyarakat juga diusahakan untuk menjawab tantangan globalisasi yang berimbas pada seluruh aspek kehidupan manusia; (2) bahwa upaya membangun budaya hukum masyarakat Madura dilakukan dengan membangun kesadaran hukum pada masyarakat.  Kesadaran tersebut adalah bahwa perbuatan carok (upaya pembunuhan) disamping melawan hukum negara juga dilarang oleh agama apapun di dunia ini dan juga  merupakan pelanggaran terhadap HAM.

 

Kata kunci   : Carok, Sistem Hukum Indonesia, Budaya Hukum,

Kesadaran Hukum.



A.    PENDAHULUAN

 

1.    Latar Belakang

Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki banyak suku tersebar di seluruh wilayah pelosok negara. Setiap suku memiliki ciri khas masing-masing sebagai pembeda dari suku lainnya. Di antara suku yang ada di Indonesia adalah suku Madura.Pada masyarakat Madura ada kebiasaan (budaya) yang dikenal dengan istilah carok yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara orang-orang Madura.

Dalam kamus bahasa Indonesia, pengertian dari caruk (carok) adalah berkelahi secara masal dengan menggunakan celurit.[1] Menurut Latief Wiyata, carok adalah suatu tindakan atau upaya pembunuhan dengan menggunakan senjata tajam pada umumnya celurit yang dilakukan oleh laki-laki terhadap laki-laki lainnya yang telah dianggap melakukan pelecehan terhadap harga diri, terutama berkaitan dengan masalah kehormatan diri, isteri, dan agama sehingga membuat malo (malu).[2][...]

UNDUH DISINI

Sangkaan TPPU Terhadap Mantan Bupati Nganjuk

Oleh: Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menyita tanah milik mantan Bupati Nganjuk seluas 2,2 hektar di Desa Putren Kecamatan Sukomoro Kabupaten Nganjuk. Sembilan bidang tanah itu disita tim penyidik KPK  terkait kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

Sang mantan bupati tersebut disangka melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Menurut UU tersebut  pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana: (1) Tindak pidana pencucian uang aktif sebagaimana diatur dalam Pasal 3; (2) Tindak pidana pencucian uang pasif sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 dan (3) Mereka yang menikmati hasil dari TPPU sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5.

Adapun ancaman pidana untuk Pasal 3 adalah dipidana dengan kurungan penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sedangkan untuk Pasal 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Adapun bagi yang melanggar Pasal 5 ancaman pidananya juga berat yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Untuk kepentingan pengembalian keuangan negara ini, pemerintah telah menyiapkan serangkaian instrumen-instrumen hukum yang mempedomani bagaimana caranya dengan seefektif dan seefisien mungkin keuangan negara dapat diupayakan semaksimal mungkin diambil alih kembali oleh negara. Di samping instrumen hukum yang berasal dari produk pemerintah, instrumen hukum internasional tentang pengembalian keuangan negara juga diperlukan guna mengantisipasi pindahnya keuangan negara ke negara asing (transborder money loundry). Pada saat ini TPPU diproses oleh Pengadilan Umum sedangkan untuk kasus tindak pidana korupsi (TPK) di Pengadilan TPK. Tentunya akan lebih efisien bila keduanya ditangani oleh satu pengadilan saja yaitu pengadilan TPK. 

Dalam tindak pidana TPPU, setiap satu perkara akan merujuk pada dua jenis tindak pidana yakni tindak pidana asal/awal (predicate crime) dan TPPU. TPPU adalah perbuatan (daad) memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari adanya perbuatan pidana (een feit) seperti TPK, perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan disertai niat jahat (mensrea) untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga seolah-olah sebagai uang yang sah.

Proses pencucian uang selalu melibatkan aktifitas: (1) penempatan (placement); (2) pelapisan (layering); dan (3) penggabungan (integration). Aktifitas placement merupakan perbuatan menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu perbuatan pidana dengan merubah sifat asalnya seperti, merubah dari mata uang rupiah menjadi mata uang asing, atau menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil mata pencaharian yang sah. Perbuatan merubah sifat asal ini juga bisa dilakukan dengan merubah sifat uang hasil kejahatan menjadi bentuk deposito bank, cek atau berupa saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang asing atau transfer uang tersebut ke dalam valuta asing.[...]

FULL DOC.