Oleh: Dr Wahju
Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.
Issue yang berkembang saat pelaksanaan
pilkada, banyak terjadi dan terekam oleh para media maupun peneliti,
meskipun transparansi telah disebarkan melalui berbagai media, namun
beberapa problem masih menjadi tanda tanya yang harus mendapatkan perhatian.
Problem korupsi dana pilkada, misalnya telah mengemuka di beberapa media,
dan terjadi di beberapa daerah (NTT.News, 2017; Oke-Zone News, 2017).
Problem money politics yang sering terjadi merupakan problem
yang juga menghadang pelaksanaan pilkada. Sebagaimana dinyatakan oleh
Komaruddin Hidayat dan Ignas Kleiden bahwa akan ada banyak partai potlitik dan
calonnya dalam suatu pemilihan. Dinamika ini menimbulkan kekhawatiran
tersendiri terkait dengan keabsahan pemilihan itu sendiri.[2] Dalam praktiknya Pilkada
banyak terjadi konflik yang di antaranya dipicu oleh
masalah administrasi data pemilih, netralitas penyelenggara Pemilu,
serta kurangnya kepatuhan peserta pilkada dan partai
politik terhadap peraturan yang berlaku. Metode kajian ini adalah
kualitatif refleksif, yaitu ingin merefleksikan tentang pilkada
yang bersih, jujur, adil dan damai yaitu pemilihan kepala
daerah yang dalam proses pelaksanaannya demokratis, transparan, adil, dan
partisipatif, serta hasilnya dapat diterima oleh semua pihak, sehingga mampu
menjamin geliat demokrasi dalam pemerintahan dan politik lokal
serta menjamin hadirnya kemaslahatan bersama
dalam masyarakat.
Meskipun adanya beberapa catatan dalam peaksanaan
pilkada, namun secara umum pelaksanaan pilkada itu telah berhasil mencapai
tujuan-tujuan dasarnya, yakni pertama, menghasilkan pimpinan daerah melalui
sebuah mekanisme pemilihan yang demokratis - bebas, adil dan tidak
ada kekerasan. Kedua, dilihat dari sudut kepentingan adanya rotasi
kepemimpinan lokal secara reguler, Pilkada langsung merupakan kelanjutan dari
praktek pemilihan sebelumnya, tapi sekaligus telah meletakan dasar baru bagi
sebuah mekanis pertukaran elit secara reguler.
B. PEMBAHASAN
Pemilu merupakan wujud kebebasan bagi
masyarakat dan rasionalitas individu untuk memilih siapa pemimpinnya. Hal ini
memiliki korelasi dengan pembentukan pemerintahan daerah sebagai bentuk
rasionalitas masyarakat daerah yang diwujudkan melalui pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah secara langsung. Tujuan diadakannya pilkada adalah
untuk membentuk pemerintahan yang kuat berdasarkan pilihan dan legitimasi dari
rakyat dalam kerangka besar untuk mewujudkan pemerintahan lokal yang
demokratis. Ada tiga alasan pokok pemilihan Kepala Daerah harus dikaitkan
dengan pemerintahan lokal yang demokratis: 1) pemerintahan lokal yang
demokratis bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas
politik (political equality); 2) pemerintahan lokal yang demokratis
mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability);
3) pemerintahan lokal yang demokratis meningkatkan akselerasi pembangunan
sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat (local
responsiveness). Ketiga hal tersebut menjadi acuan pokok dalam upaya
pilkada agar arah pengembangannnya memiliki sandaran yang kokoh, yang berarti
juga wujud nyata dari pembentukan demokratisasi di daerah. Kepala Daerah
dan wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil.[3] [...]