Oleh : Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc.
Meluasnya pemahaman bahwa Pasal 27 Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2020 memberikan "impunity" adalah pemahaman yang sesat nalar (logical fallacy) dalam perspektif ilmu Hukum Pidana. Pasal yang senada sebenarnya juga digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dalam hukum nasional di Indonesia, misalnya dalam UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman yakni Pasal 10; UU No. 8 Tahun 2003 tentang Advokat yakni Pasal 16; UU No. 2 Tahun 2018 perubahan Kedua UU MD3, yakni ketentuan Pasal 224, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 9 Tahun 1976 dan lain-lainnya.
Bila kita cermati makna substantif dari Pasal 27 ayat (1) adalah memang bukan merupakan kerugian negara, selagi pengeluaran dilakukan demi kepentingan pelaksanaan kebijakan pendapatan negara oleh Pemerintah dan atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di bidang kebijakan perpajakan, belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional. Adapun pemahaman yang harus digarisbawahi adalah bahwa semua belanja tadi dilaksanakan dengan sangat memperhatikan nilai-nilai kelayakan, kepatutan, keadilan dan kejujuran.
Adapun makna substantif dari Pasal 27 ayat (2) itu tidak bersifat "longgar", akan tetapi ada syarat yang harus terpenuhi yakni [....]